INVESTASI DALAM KAJIAN HADIS


Hadits sebagai pernyataan, pengalaman, taqrir[1] dan hal-ihwal Nabi Muhammad Saw merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. [2] Hadits merupakan penjelasan yang nyata terhadap ayat-ayat al-Qur’an al-Karim yang masih global dan merupakan keterangan yang nyata bagi keumuman ayatnya.[3]

Nabi Muhammad Saw dengan hadistnya memberikan contoh yang konkrit, bagaimana melaksanakan ajaran al-Qur’an didalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hadist nabi kedudukannya sangat penting dalam Islam sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.

Tetapi hadis sampai kepada umat Islam tidak semua mutawattir, tetapi kebanyakan di terima secara ahad. Kebenarannya Qoth’i (yang otentik dan jelas artinya) secara global (ijmali) dan dzanni (persangkaan) secara rinciannya. Oleh karena itu penelitian dan pengkajian terhadap kualitas dan kedudukan hadis itu sangat di perlukan untuk membuktikan apakah hadis tersebut dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya yang nantinya dapat di katakan apakah hadis tersebut dapat dijadikan sebuah dalil agama atau tidak.

Nabi Muhammad Saw seorang pribadi yang lengkap, yang tak habis-habisnya dikaji dan didiskusikan oleh umat Islam maupun oleh kalangan di luar Islam. Oleh karena itu, figur nabi Muhammad Saw dilihat dari sudut pandang ekonomi, ajaran dan ketauladananya yang ditinggalkan kepada kita ternyata jauh mendahului zamannya. Sehingga prinsip moral atau etika bisnis yang diwariskan semakin terasa urgensi dan relevansinya, jika kita mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur dibawah naungan ridha Allah Swt[4].

Di dalam kehidupan Rasulullah Saw sendiri pun tidak terlepas dari dunia bisnis yang merupakan salah satu proses kematangan beliau yang dikenal sebagai al-Amin. Sejarah telah mencatat bahwa ketika beliau berusia 12 tahun belaiu telah mengikuti ekspedisi dagang luar negeri. Begitu juga ketika berusia 20an dan 40 an di padati dengan pengalaman bisnis internasional.

Bahkan Rasulullah Saw menyatakan, bahwasanya orang yang mencari nafkah hidup untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang beribadah sepanjang waktu adalah lebih baik dari saudaranya yang tidak bekerja tersebut[5]. Demikian pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan terdapat ayat al-Qur’an yang menegaskan agar umat Islam bersegera bertebaran di muka bumi guna mencari nafkah setelah memenuhi kewajiban shalat. Allah Swt berfirman dalam surat al-Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:

فإذا قضيت الصّلوة فانتشروا فى الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلّكم تفلحون

“Apabila telah ditunaikan shalat. Maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaklah supaya kamu beruntung”.

Islam yang memiliki al-Qur’an dan sunnah sebagai undang-undangnya, dengan menjadikannya sebagai way of life dan juga way of save bagi umatnya yang tidak hilang oleh zaman, karena petunjuknya yang mulia yang memang diperuntukkan bagi kita semua sampai kapan pun. Al-Qur’an juga tidak membantah akan kecintaan kepada kehidupan manusiawi, karena hal itu merupakan suatu proses yang alami. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman dalam surat al-Imran ayat 14, yang berbunyi:

زيّن للنّاس حبّ الشّهواة من النساء و البنين و القنطير و المقنطرة من الذّهب و الفضّة و الخيل المسوّمة و الأنعم و الحرث ذلك متع الحيوة الدّنيا و الله عنده حسن المئاب.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.

Tetapi di balik itu al-Qur’an mengungkapkan, bahwa selain kehidupan didunia ini masih ada kelanjutan yaitu kehidupan akhirat. Pandangan hidup Islam itu tidak terbatas hanya pada kehidupan materialistis yang berakhir pada kematian seseorang didunia[6]. Sehingga dalam bekerja para pelakunya haruslah memiliki orientasi, terlebih yang berorientasi kepada syari’ah.[7]

Pekerjaan manusia adalah pekerjaan rasio (akal) dan fisik. Jika manusia tidak bekerja maka ia tidak bisa memenuhi tugas hidupnya. Manusia harus menggunakan akalnya untuk berpikir dan menjadikan pemikirannya sebagai pedoman dalam kehidupan, sehingga tidak dikalahkan oleh hawa nafsu. Pemikiran yang negatif akan merugikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pekerjaan merupakan sarana untuk memperoleh rezeki dan sumber penghidupan yang layak jika niatnya benar, dan selalu mengindahkan hukum-hukum Allah Swt, maka kerja yang dilakukannya itu di hitung sebagai ibadah[8]. Manusia hidup mempunyai tiujuan, Islam menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah menganjurkan bekerja dan berpesan agar melakukannya sebaik mungkin Dan ia juga berpesan untuk selalu berlaku adil dalam menentukan upah kerja dan menepati pembayarannya[9].

Umat Islam yang diberi gelar oleh Allah sebagai Khairu Ummah (the best society) diharapkan menjadi dorongan bagi kita (umat Islam) untuk lebih semangat lagi dalam bekerja sertaberusaha untuk menanamkan suatu ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah suatu yang indah[10].

Indonesia yang nota bene adalah sebuah negara dengan penduiduk Muslim terbesar di dunia, saat ini tengah menikmati ketertidurannya dalam keterpurukan kemiskinan (ekonomi). Krisis yang berkepanjangan akibat dari kemiskinan tersebut, pada gilirannya kemudian memunculkan akibat-akibat negatif yang lain, seperti: pencurian, pemerkosaan, perampokan, penindasan dan lain sebagainya.

Langkah-langkah untuk mengentaskan kemiskinan ini, memang sudah diusahakan oleh berbagai kalangan. Baik oleh instansi pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk didalamnya dari komponen masyarakat, yaitu para ulama dan para pakar ekonomi.

Muchdarsyah Sinungan menjelaskan dari kutipan yang diambil dari Robert T. Kiyosaki dalam karyanya “The Crashflow Quadrant”, bahwasanya telah dibagi empat kriteria manusia dalam usahanya memperoleh harta. Dalam buku tersebut, dijelaskan tentang empat jenis orang yang berbeda yang ada dalam dunia bisnis, tentang siapa diri mereka yang membuat individu-individu tersebut unik. Keempat jenis tersebut adalah seorang pegawai (Employee), seorang pekerja keras (Self Employee), seorang pemilik usaha (Business owner) dan seorang penanam modal (Investor)[11].

Investasi sangat penting artinya baik bagi negara yang sedang membangun maupun dinegara yang sudah maju. Karena investasi menjadi alat untuk memperbanyak pengeluaran barang dan jasa yang akan datang dan pada saat yang bersamaan akan memperluas kesempatan kerja. Hal ini pula yang menjadikan tipe investor lebih baik dilihat dari kaca mata Islam. Sebab dengan menjadi investor hal itu akan lebih mendatangkan manfaat dari pada halnya sebagai seorang karyawan saja. Dengan menjadi investor ia dapat memberikan manfaat bagi dirinya juga bagi masyarakat di sekitarnya.

Berkaitan dengan itu, maka bekerja dengan menjadi seorang investor adalah suatu langkah yang sangat berbeda dan baik sekali guna menggapai rezeki yang telah ditebarkan Allah Swt sekaligus turut serta dalam proses mensejahterakan masyarakat. Namun kenyataannya adalah, tidak semua orang dapat menjadi seorang investor. Hal ini dikarenakan, setiap orang tidak memiliki kemampuan dan modal yang sama serta memadai untuk berinvestasi, bahkan untuk mencapai tingkat investor ini menurut T. Kiyosaki harus menjalani tahapan seorang karyawan dan pemilik usaha terlebih dahulu agar memiliki kemampuan dan keperibadian yang cukup nantinya akan menjadi modal awal dan dapat membimbingnya menjadi seorang investor yang sukses dan mampu membaca peluang, situasi dan kondisi yang baik. Sebab dengan memulai sebagai seorang karyawan dan pemilik usaha, kita setidaknya akan mendapatkan tiga E yang dibuthkan untuk menganlisis investasi-investasi sebagai investor, yakni pendidikan (education) pengalaman (experience) dan uang yang banyak (excessive cash)[12].

Secara umum, berinvestasi diartikan sebagai keputusan mengeluarkan dana pada saat sekarang untuk membeli aktiva riil atau aktiva keuangan dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dimasa yang akan datang. Investasi berbeda dengan tabungan, Murdifin Haming dalam karyanya “Studi Kelayakan Investasi” memberikan alasan; hal ini karena tabungan memiliki motif konsumtif. Yaitu penyisihan sebagian pendapatan pada saat sekarang ke dalam tabungan yang bertujuan untuk memungkinkan penabung agar dapat memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan konsumsinya yang lebih besar dimasa yang akan datang[13].

Namun demikian, baik investasi maupun tabungan keduanya terkait dengan manfaat yang diharapkan dimasa yang akan datang. Oleh karena investasi berkaitan dengan pengeluaran dana pada saat sekarang dan manfaatnya baru akan diterima dimasa datang, maka investasi dihadapkan pada berbagai macam resiko. Paling tidak ada dua resiko yang akan dihadapi oleh seorang investor, yakni nilai riil dari uang yang akan diterima dimasa yang akan datang dan resiko mengenai ketidak pastian menerima uang dalam jumlah yang sesuai dengan yang diperkirakan akan diterima dimasa yang akan datang.


[1] Taqrir adalah masdar (kata benda jadian) dari kata qarrara. Menurut bahasa taqrir dapat berarti penetapan, pengakuan atau persetujuan. Lihat Muhammad bin Mukarran bin Manzhur (selanjutnya ditulis Ibn Manzhur), Lisan al-Arab (Mesir: al-Dar al-Mishriyyah,tth), Juz IV, h.394. Menurut ilmu hadits, taqrir berarti perbuatan sahabat nabi yang ternyata dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi. Lihat: Muhammad al-Shabbaqh, al-Hadits al-Nabawi (Maktab al-Islamy, 1392 H=1972 M) h. 14.

[2] Syuhudi Ismail, kaedah Keshahihan Sanad Hadits (Jakarta:Bulan Bintang, 1995), Cet ke 2, h.3. lihat juga Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan Al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, terj. (Jakarta:Rabbani Press, 1997), h. 15.

[3] M. ‘Ajaj Khatib, Ushulul Hadits, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) h. 34

[4] Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (Jakarta: Yayasan Swara bhumy, 1997), h.viii

[5] Andi Prasetiyo, Hubungan Investasi dan Tingkat Likuiditas di Bank Perkreditan Rakyat Syariah, (Jakarta: Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Muamalat, 2006) h. 1

[6] Alie Yafie, dkk, Fiqih Perdagangan bebas, (Jakarta: teraju, 2003), Cet. Ke-1, h.3

[7] M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: gema Insani Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 18-19

[8] Prof. Dr. Yusuf Qardhawi, Dimana kerusakan Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990) Cet.Ke-2, h.14

[9] Abdul Hamid Mursi, SDM Yang Produktif Pendekatan Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta:Gema Insani Press, 1999), Cet. Ke-4, h. 155

[10] Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (Jakarta: Dhana Bakti Prima Yasa, 1995) h.7

[11] Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2000), h.17

[12] Op Cit

[13] Murdifin Haming, Studi Kelayakan Investasi, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), h. 27

—————————————————–

Download versi lengkapnya di : Skripsi : Investasi Dalam Kajian Hadis –>> 123456

—————————————————–

This entry was posted in Hadis, Pemikiran, Penelitian, Skripsi and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

3 Responses to INVESTASI DALAM KAJIAN HADIS

  1. camera says:

    mantap,,,makasih banyak infonya,,,salam hangat,,,

  2. vika aulisia says:

    pak,kapan tugas review terakhir di kumpul?

Leave a reply to vika aulisia Cancel reply