PESANTREN AL-GHOFFAAR CIKASO PERSPEKTIF SOSIOLOGI MAX WEBER


A. PENDAHULUAN

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral. Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Tipologi pesantren yang berkembang saat ini dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafi. Kedua, Pesantren  yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga, Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi  siswanya diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Namun, apapun bentuknya, dinamika pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif khas, baik internal maupun eksternal.

B. Sekilas Tentang Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso

Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso merupakan salah satu lembaga pendidikan islam pertama dan tertua yang ada di Desa Cikaso. Desa Cikaso berada di Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan. Ia terletak di lembah pegunungan Ciremai yang berbatasan dengan Desa Kramatmulya di sebelah barat, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Bojong, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Desa Karangmangu dan Desa Ciloa di sebelah selatan.

Keberadaan Pesantren Al-Ghoffaar berawal dari segelintir anak kecil yang datang belajar mengkaji al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam di rumah seorang ulama bernama KH. Hasan Mughni. Kemudian lambat laun seiring semakin banyaknya santri hingga proses belajar mengajar tersebut tidak dapat dilakukan lagi di dalam sebuah gubuk kecil milik kyai. Akhirnya, beliau membangun sebuah langgar (musholla) yang bernama Al-Ghoffaar, guna meneruskan semangat para santri dalam menimba ilmu juga sebagai sarana ibadah bagi masyarakat sekitar. Setelah beliau dipanggil kembali menghadap Allah Yang Maha Kuasa, anak-anak dan pemuda-pemudi yang hendak menimba ilmu kian ramai berdatangan sehingga kegiatan tersebut harus diteruskan oleh anak-anaknya dengan dibantu santri-santri senior dan langgar pun berubah nama menjadi Pesantren Al-Ghoffaar.

Perubahan status sebuah langgar menjadi pesantren membawa dampak positif, baik bagi kemajuan pesantren itu sendiri—yakni semakin banyak santri dan tingkatannya maka semakin beraneka ragam pula jenis pendidikan dan pengajaran yang diterapkan—juga kemajuan bagi masyarakat sekitarnya, karena dengan perubahannya para orang tua santri dapat menikmati serta mewujudkan impian mereka mempunyai putra-putri yang shalih-shalihah dan masyarakat di sekitar pesantren dapat pula mengikuti kajian-kajian Islam yang diselenggarakan pihak pesantren, sehingga tidak hanya anak-anak santri yang bisa merasakan halawah al-iman wa al-Islam (kenikmatan iman dan Islam) tetapi lingkungan sekitar pesantren juga bisa mengecap keindahan Islam yang rahmatan li al-‘alamin (menebarkan rahmat bagi semesta alam).

Kini, untuk meningkatkan eksistensi serta ekspansi bidang garapan, akhirnya dibentuk menjadi Yayasan Al-Ghoffaar Cikaso sesuai Akta Notaris Yayan Sopian no. 01 tahun 2008 dan telah mempunyai legalitas hukum dari Kementrian Hukum dan HAM RI No.AHU-3944.AH.01.02 Tahun 2008. Dengan demikian, Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso berada di bawah naungan yayasan tersebut. Selain itu, terdapat pula Madrasah Diniyah dan TPA/TKA.

Keberadaan Yayasan Al-Ghoffaar Cikaso mendatangkan “angin segar” bagi masyarakat sekitarnya. Sebab, dengan kemunculannya pergerakan Al-Ghoffaar yang dahulu sebuah pesantren yang hanya berkutat dalam bidang pendidikan, kini bidang garapannya bertambah dalam hal peningkatan kesejahteraan serta perekonomian, baik untuk yayasan juga untuk masyarakat di sekitarnya.

C. Mengenal Sosiologi Max Weber

Maximilian Carl Emil Weber (21 April 1864-14 Juni 1920) adalah seorang pengacara Jerman, politikus, sejarawan, sosiolog dan ekonom politik. Weber lahir di Erfurt di Thüringen, Jerman, anak tertua dari tujuh bersaudara dari seorang ayah bernama Max Weber Sr, seorang politikus kaya dan terkemuka di Partai Liberal Nasional (Jerman) dan seorang pegawai negeri, serta seorang ibu bernama Helene Fallenstein, seorang Protestan dan Calvinis, dengan ide-ide absolut moral yang kuat. Weber tumbuh dalam suasana intelektual keluarganya sehingga dalam usia 14 tahun ia sudah mampu menulis surat yang dipenuhi dengan referensi karya-karya Homer, Virgil, Cicero, dan Livy. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang  Goethe, Spinoza, Kant, dan Schopenhauer sebelum ia masuk Universitas Heidelberg pada jurusan hukum yang kemudian dilanjutkan di Universitas Berlin pada jurusan ilmu-ilmu sosial.

Weber bersama Karl Marx dan Emile Durkheim dianggap sebagai pendiri sosiologi modern, meskipun pada masanya ia lebih dikenal sebagai sejarawan sekaligus ekonom. Ia berfokus pada sosiologi industri sebelum akhirnya berpindah pada ranah sosiologi agama dan sosiologi negara. Menurut Weber, sosiologi merupakan suatu  ilmu yang berusaha memberikan pengertian tentang aksi-aksi sosial untuk memperoleh gambaran dan pengaruhnya. Dalam hal ini ia berusaha mendefinisikan mengenai kelakuan-kelakuan manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi sosial.

Disamping terkenal dengan metode “pengertian”nya (method of understanding), Max Weber juga terkenal dengan teori ideal typus-nya, yakni suatu konstruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat dipergunakannya sebagai suatu alat untuk menganalisa gejala-gejala dalam masyarakat.

Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karya Weber paling populer adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Buku ini kemudian menjadi dasar dari penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Ia menggambarkan agama sebagai fenomena yang rumit dan kompleks yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus. Karenanya, agama mempunyai beberapa macam dimensi, yaitu dimensi kepercayaan/keyakinan beragama, dimensi ritual keagamaan, dimensi, pengalaman keagamaan, dimensi pengetahuan yang berkaitan dengan keberadaan fakta-fakta agama, dan dimensi konsekuensi/ketaatan dalam beragama.

Argumen Weber tentang asal-usul kapitalisme modern merupakan salah satu argumen yang paling berpengaruh dalam sejarah ilmu sosial, yang memancing pembuktian dan penyangkalan oleh para sosiolog, sejarawan, ahli psikologi, ekonom, dan antropolog pada abad ke-20. Persoalan utama yang ia kaji berkenaan dengan mengapa Revolusi Industri, modernisasi ekonomi, dan kapitalisme borjuis pertama-tama muncul di Barat, dan terutama dalam masyarakat-masyarakat Barat yang Protestan ketimbang Katolik, dan bukan di tempat lain.

Weber menyatakan bahwa perubahan hukum dan perdagangan, perkembangan kelembagaan, dan penemuan-penemuan teknologi di Eropa itu sendiri tidak memadai sebagai suatu penjelasan yang memuaskan; masyarakat-masyarakat yang lain telah mengembangkan perbankan, lembaga kredit, dan sistem hukum, serta fondasi-fondasi ilmu pengetahuan, matematika, dan teknologi. Ia melihat bahwa syarat-syarat materiil bagi kapitalisme terdapat di banyak peradaban awal, termasuk munculnya kelas pedagang yang terlibat dalam perdagangan dan perniagaan di China, Mesir, India, dan dunia lama, jauh sebelum Reformasi Protestan. Namun, menurut Weber, apa yang tidak ada pada semua itu, adalah etos budaya yang khas dan khusus. Bagi Weber, nilai-nilai yang terkait dengan Reformasi Protestan dan doktrin-doktrin Calvinis-lah yang melahirkan semangat kapitalisme Barat. Protestantisme asketis mendalilkan bahwa orang memiliki kewajiban untuk bekerja dengan rajin, untuk menghasilkan keuntungan finansial, dan menabung dengan hati-hati. Tujuan bekerja dan mengumpulkan sumber daya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil minimal, apalagi untuk menghamburkan keuntungan pada kemewahan materiil dan kesenangan hedonistik duniawi dalam hidup, namun bekerja dilihat sebagai suatu kewajiban moral yang dijalankan demi dirinya sendiri: “Sebaliknya, kerja harus dijalankan seolah-olah ia pada dirinya sendiri adalah suatu tujuan absolut, suatu panggilan.”

Etika Protestan menafsirkan aktivitas-aktivitas etis bukan sebagai asketisme monastik yang menolak kehidupan ini, melainkan lebih sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban duniawi. Dengan demikian, menurut Weber, kebajikan-kebajikan seperti kerja keras, semangat berusaha, dan ketekunan merupakan fondasar budaya utama bagi pasar dan investasi kapitalisme: “Kejujuran bermanfaat, karena ia menjamin penghargaan; demikian juga ketepatan waktu, industri, kesederhanaan, dan itulah alasan mengapa mereka adalah kebajikan-kebajikan.” Oleh karena itu etika Protestan oleh Weber dipahami sebagai serangkaian keyakinan moral yang unik tentang kebajikan-kebajikan kerja keras dan perolehan ekonomi, perlunya inisiatif kepengusahaan individu, pahala-pahala Tuhan yang adil. Nilai-nilanya yang khusus menekankan disiplin-diri, kerja keras, kebaikan menabung, kejujuran pribadi, individualisme, dan kemandirian, yang semuanya dianggap menghasilkan syarat-syarat budaya yang paling kondusif bagi ekonomi pasar, usaha pribadi, dan kapitalisme borjuis di Barat.

Keyakinan-keyakinan keagamaan dapat diruntuhkan terutama oleh efek dari pendidikan yang meningkat dan kesadaran kognitif yang semakin kuat menyangkut rasionalitas manusia, seperti yang dikemukakan teori Weberian. Karena negara-negara dengan akses yang luas pada pendidikan, universitas, dan kemampuan baca-tulis biasanya juga memiliki tingkat kemakmuran dan kesehatan yang lebih tinggi serta tingkat pertumbuhan populasi yang lebih rendah, maka sulit, jika bukan mustahil, untuk menguraikan efek-efek ini dengan tujuan untuk mengisolasi dampak individual dari keamanan eksistensial per se yang kami anggap mendasari semua faktor ini. Namun tidak terdapat korelasi langsung pada tingkat individual antara kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan religiusitas.

Dalam karya lainnya, Politics as a Vocation, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.

D. Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso dan Sosiologi Max Weber

Pesantren Al-Ghoffaar terletak di lembah Gunung Ciremai Desa Cikaso Kec. Kramatmulya Kab. Kuningan Jawa Barat yang telah eksis sejak tahun 1960an. Dalam sejarah perkembangannya, layaknya kebanyakan pesantren di Indonesia yang berawal dari rumah seorang Kyai yang mengadakan pendidikan keagamaan. Karena jumlah santri yang semakin banyak sehingga tidak dapat ditampung di rumah Kyai. Maka atas dasar gotong royong dengan masyarakat, dibangun gedung pesantren yang hingga saat ini masih tegak berdiri.

KH. Hasan Mughni, pendiri Pesantren Al-Ghoffaar, adalah salah satu tokoh masyarakat Desa Cikaso yang mempunyai peran hampir dalam setiap aspek kehidupan. Tidak hanya dalam bidang keagamaan dan pendidikan, tetapi dalam bidang hukum, politik, pemerintahan, hingga tata-bangun desa. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering kali diminta pendapat atau nasehat—lebih mirip doktrin yang harus dilaksanakan—mengenai suatu permasalahan di desa. Sepeninggalnya, Kenyataan seperti ini terus berlangsung hingga sekarang setelah pimpinan pesantren diganti oleh H. Ori Shobari yang menikahi salah seorang putrinya. Hebatnya, meskipun tuna netra, beliau juga tidak berbeda dengan kepopuleran ayah mertuanya yang menjadi tumpuan roda kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Kendati demikian, kedua pimpinan pesantren tersebut menyadari sepenuhnya bahwa dalam beberapa hal yang bersifat modernitas, profesionalitas, dan sistem kenegaraan, mereka hanyalah warga biasa yang harus taat terhadap segala peraturan dan takdir di dalamnya. Misalnya, di saat mereka sakit membutuhkan dokter, di saat membangun mereka perlu ahli bangunan, dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini sesuai dengan pendapat Max Weber, “orang-orang yang mempunyai otoritas ilahiah hanya menjadi satu sumber pengetahuan dalam masyarakat modern dan tidak niscaya menjadi sumber paling penting dalam banyak dimensi kehidupan ketika mereka bersaing dengan orang-orang yang mempunyai keahlian atau ketrampilan modern”.

Teori tindakan sosial yang dikembangkan Weber mempunyai poin penting dalam penelitiannya, yakni rasionalitas individu, terutama dari sisi religiusitas dan etos kerja. Dalam hal mengungkap rasionalitas, dibutuhkan empati yang tinggi terhadap fokus penelitiannya. Berdasarkan teori Weber tentang ethic Protestan tersebut,  pada Pesantren Al-Ghoffaar ditemukan fakta bahwa pemahaman serta pengamalan nilai-nilai ritual keagamaan dengan baik dan ikhlas,  menentukan kualitas kerja seseorang dalam bidangnya masing-masing. Ini ditunjukkan dari 15 orang guru di pesantren itu, separuh diantaranya mempunyai etos kerja yang rendah bila dibandingkan separuh lainnya.

Etos kerja dimaksud adalah kejujuran, ketaatan, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, tanggung jawab, inovatif, dan materialis. Guru-guru yang rajin melaksanakan sholat berjamaah, baik di masjid atau musholla, rutin berpuasa sunnah, bersedekah tanpa batas waktu dan jumlah, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya yang sudah menjadi rutinitas dilakukan, mempunyai dampak yang sangat baik terhadap etos kerja mereka di pesantren, baik dalam hal mengajar, mendidik, ataupun kegiatan-kegiatan kepesantrenan lainnya.

Hal ini berbeda dengan guru-guru yang dalam pelaksanaan ritual ibadah masih dalam konsep kewajiban. Bagi mereka, kegiatan apapun yang diselenggarakan di pesantren hanyalah rutinitas juga formalitas yang membosankan.

Keyakinan, pemahaman dan pengamalan religiusitas ini tidak hanya berdampak pada diri setiap individunya di lingkungan pesantren, akan tetapi dampak etos kerja dalam kehidupan bermasyarakatnya pun dapat terlihat dengan jelas. Dimana mereka yang mempunyai etos kerja rendah, akan mempunyai sedikit perasaan acuh dan kurang peka terhadap permasalahan masyarakat sekitarnya. Mereka yang mempunyai nilai religiusitas tinggi akan sangat peka terhadap berbagai permasalahn umatnya, seperti halnya pimpinan Pesantren Al-Ghoffaar.

Kegiatan di Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso selalu berusaha untuk tetap berlandaskan pada interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif yang khas, baik internal maupun eksternal.  Interaksi internal yang mencakup interaksi intrapersonal, interpersonal, interaksi group level, dan interaksi intergroup terjalin dalam rangka proses pemberdayaan (empowering).  Dalam interaksi bercirikan pemberdayaan itu, kebutuhan hidup, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan belajar para santri/siswa menjadi perhatian khusus untuk diupayakan bagaimana pemenuhannya dengan sebaik-baiknya.  Dalam pada itu kepedulian terhadap potensi, masalah, dan harapan masyarakat mendapat sorotan pula.  Sedangkan proses pembelajaran dilandaskan pada relevansinya dengan perkembangan di masyarakat, serta perubahan struktur keterpaduan pendidikan itu.

Interaksi eksternal yang bersifat interorganizational level difokuskan untuk pembangunan fisik di masyarakat.  Pengajian rutin, bina da’wah, dan ceramah shubuh merupakan contoh kegiatan interaksi eksternal yang dilakukan Pesantren Al-Ghoffaar Cikaso, dimana kelompok-kelompok masyarakat menjadi target groupnya.  Demikian pula, dalam upaya pembangunan fisik pesantren selalu mengambil peran aktif.

Dalam hal kelembagaan atau organisasi, Pesantren Al-Ghoffaar sudah banyak berperan dalam usaha meningkatkan tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Misalnya, menyantuni anak-anak yatim, orang fakir miskin, orang-orang tua jompo, mengadakan pendidikan gratis bagi santri kurang mampu dan berprestasi, dan lain sebagainya termasuk berkeja sama dengan instansi lain untuk kesejahteraan pesantren dan masyarakat, seperti kerja sama yang masih dalam proses dengan Departemen Pertanian  untuk pengelolaan lahan sawah dan kolam ikan yang pengurusannya hingga saat ini diserahkan pada masyarakat ahli yang kurang mampu.

Upaya-upaya seperti itu, kiranya merupakan wujud religiusitas pesantren yang mempunyai kepercayaan di masyarakat, sehingga dapat menunjukkan rasa empati yang tinggi serta etos kerja yang baik pula. Demikian selayaknya suatu lembaga pendidikan, dapat memberikan manfaat untuk orang di luar lembaga tersebut tanpa melupakan kesejahteraan orang di dalamnya. Nabi saw. pernah bersabda :

خَيرُ النـَّاسِ اَنـْفَعُهُمْ لِلنـَّاسِ — الحديث

“Sebaik-baik manusia adalah adalah yang dapat memberi manfaat pada manusia lainnya”.

* * *

This entry was posted in Informasi, Pemikiran, Pendidikan and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment