Pemikiran Realisme


Pendahuluan

Realisme merupakan perspektif teori yang paling diakui di dalam Hubungan internasional. Realisme telah mendominasi Hubungan Internasional pada tingkatan mahasiswa dan sarjana hingga sering lupa fakta bahwa realisme hanyalah salah satu perspektif saja. Mereka juga menghadirkan seolah-olah realisme merupakan “pandangan umum” di dunia dibandingkan semua perspektif lain yang seharusnya dipertimbangkan juga. [1]

Setelah perang Dunia II, realisme muncul sebagai pandangan bersama dalam Hubungan Internasional. Para penganut ini berpendapat bahwa sejarah panjang perpolitikan dunia menunjukkan bahwa sejarah politik dunia bukanlah sebuah latihan dalam melukiskan hukum-hukum dan perjanjian-perjanjian atau dalam membentuk organisasi-organisasi internasional. Akan tetapi hal tersebut merupakan perjuangan atas kekuasaan yang berlangsung dibawah kondisi “sebuah negara untuk kami” (every country for it self). Kaum realis berpendapat bahwa fokus penelitian politik dunia seharusnya terletak pada proses menemukan berbagai pendorong penting yang menggerakkan hubungan-hubungan antar negara. Mereka percaya bahwa pengejaran terhadap kekuasaan dan kepentingan nasional adalah kekuatan utama yang menggerakkan perpolitikan dunia. Bagi mereka dengan meletakkan perhatian pada kekuatan-kekuatan penting ini dapat kemudian diketahui bahwa para pemimpin negara kurang mempunyai kebebasan untuk mengatur dunia dan memecahkan permasalahannya. Meskipun mereka menerima bahwa hukum dan moralitas merupakan bagian dari kinerja politik dunia, tetapi penghargaan pada hukum hanya akan dapat dicapai jika hukum tersebut disertai dengan ancaman kekuatan. Penganut paham ini juga menekankan kewajiban utama negara lebih kepada dirinya sendiri bukan kepada sebuah ‘komunitas internasional” yang lebih abstrak.

Kaum realis berpendapat bahwa daripada memusatkan perhatian pada gencatan senjata sebagai dasar perhatian pada perdamaian dan keamanan, negara harus bersiap-siap untuk perang. Mereka percaya bahwa konflik itu tak terelakkan sehingga kemungkinan terbaik  untuk mencegah perang adalah dengan ‘menjadi kuat’ untuk menghadapi adanya agresi asing. Kaum realis mengkalim bahwa kepercayaan pada logika dalam menyelesaikan masalah perang merupakan hal yang utopis dan mengabaikan kebenaran-kebenaran objektif tertentu tentang perpolitikan dunia. [2]

Pembahasan

Dalam pemikiran kaum realis, manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingan dengan yang yang lain. Mereka ingin berada dalam kursi pengendali. Mereka tidak ingin diambil keuntungannya. Mereka terus-menerus berjuang mendapatkan ‘yang terkuat’ dalam hubungannya dengan yang lain termasuk hubungan internasional dengan negara-negara lain. Dalam hal demikian paling tidak manusia dipandang pada dasarnya sama dimana pun. Sehingga untuk memperoleh keuntungaan dari yang lain dan mencegah dominasi dari yang lain adalah universal. Pandangan pesimis atas sikap manusia ini sangat jelas dalam teorinya Hans Morgenthau, pemikir  realis terkemuka abad dua puluh. Ia melihat pria dan wanita memiliki “keinginan untuk berkuasa”. Hal itu sangat jelas dalam politik dan khususnya dalam politik Internasional: “Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik”.

Kaum realis berjalan dengan asumsi dasar bahwa politik dunia berkembang dalam anarki internasional, yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak ada pemerintahan dunia. Negara adalah aktor utama dalam politik dunia. Hubungan Internasional khususnya merupakan hubungan Negara-negara. Semua aktor lain dalam politik dunia (individu-individu, organisasi Internasional, LSM, dll) kurang penting atau tidak penting. Inti terpenting kebijakan luar negeri adalah untuk membentuk dan mempertahankan kepentingan Negara dalam politik dunia. Tetapi Negara-negara tidaklah sama, sebaliknya, terdapat hirarki internasional atas kekuasaan diantara Negara-negara. Negara-negara yang paling penting dalam politik dunia adalah Negara-negara berkekuatan besar (great power). Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan diantara Negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan. Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup Negara: ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang esensial bagi kehidupan warga negaranya; tanpa Negara yang menjamin alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan yang memajukan kesejahteraan, kehidupan manusia dibatasi menjadi, seperti pernyataan Thomas Hobbes yang terkenal, terpencil, miskin, sangat sangat tidak menyenangkan, tidak berperikemanusiaan dan singkat. Dengan demikian negara dipandang sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya, dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada Negara dan tidak meluas pada hubungan internasional yang merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik antar Negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.

Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan nasionalnya sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah dapat diharapkan sepenuhnya. Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan negara-negara untuk mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan kewajiban internasionalnya yang berdasar pada kepentingannya sendiri jika dua negara terlibat dalam konflik. Hal itu menjadikan perjanjian-perjanjian dan semua persetujuan, konvensi, kebiasaan, aturan dan hukum lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa pengaturan yang bijaksana yang dapat dan akan dikesampingkan jika semua itu berseberangan dengan kepentingan negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam pengertian moral dari kata itu (yaitu terikat kewajiban timbal balik) antara negara-negara merdeka. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, satu-satunya tanggung jawab mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahankan kepentingan nasional. [3]

Mazhab realisme terbagi menjadi dua bagian, yakni realisme atau sering juga disebut dengan realisme klasik dan neo-realisme atau realisme kontemporer. Ada perbedaan penting dalam teori HI antara realisme klasik dan realisme kontemporer. Realisme klasik adalah salah satu dari pendekatan tradisional yang terkenal sebelum revolusi kaum behavioralis tahun 1950-an dan 1960-an. Pada dasarnya realisme klasik merupakan pendekatan normatif dan memfokuskan pada nilai-nilai dasar politik dari keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.

Kaum realis klasik hidup dalam banyak periode sejarah yang berbeda; dari Yunani kuno sampai saat ini. Realisme kontemporer pada dasarnya merupakan pendekatan ilmiah dan memfokuskan pada struktur atau sistem internasional. Doktrin ini pada awalnya berawal dan meluas di Amerika (meskipun tidak secara khusus). Realisme memfokuskan analisisnya pada pengejaran terhadap power dan otonomi dalam interaksi internasional dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara sehingga konsep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah kemampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya saja dalam prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional. Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang anarki memberikan pengaruh terhadap perilaku negara. Neo-realisme berpandangan bahwa dimungkinkan adanya kerjasama didalam sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan dari negara-negara yang terlibat di dalamnya bukan absolute gain seperti yang dikatakan oleh neoliberal. Mengapa demikian? karena dalam suatu kerjasama dalam sistem anarki tidak ada badan supranasional yang bisa memberikan jaminan bahwa anggotanya tidak melakukan kecurangan satu dengan yang lainnya juga negara-negara yang terlibat didalamnya tidak dapat meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap menjadi teman di masa yang akan datang, ada kemungkinan teman kita hari ini menjadi musuh kita di keesokan hari. Maka dengan demikian negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut tidak akan rela apabila negara lain mengambil keuntungan yang lebih besar dari apa yang ia dapatkan, terutama bagi negara-negara yang memiliki power kuat, dia akan mempertahankan kondisi anarki dan kerjasama yang demikian, karena ia diuntungkan.

Kemampuan dominasi perspektif realisme mengenai keamanan ini juga ditunjukkan dengan caranya untuk beradaptasi dan menjawab kritik yang diberikan kepadanya. Kritik pertama adalah realisme dinilai tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan penting dalam sistem internasional seperti perubahan ide mengenai kedaulatan dari jaman medieval ke jaman modern, realis menjawab bahwa konsep kedaulatan boleh saja mengalami pergeseran namun pola mengenai struggle for security, pentingnya power, ancaman dan balance of power tetap sama dan signifikan. Kritik kedua adalah realisme dianggap mengabaikan pentingnya budaya dan identitas dalam politik internasional, realis merespon dengan menggarisbawahi bahwa biarpun terdapat perbedaan dalam budaya dan identitas, hal tersebut tidak menghalangi suatu negara untuk berperilaku sama seperti asumsi-asumsi realis. Kritik ketiga menyatakan bahwa realisme mengabaikan implikasi moral, realis merespon dengan penolakannya terhadap konsep kerjasama internasional dan realis menggarisbawahi bahwa mengenali batas-batas percobaan untuk mengubah politik internasional lebih baik daripada merubah sistem yang telah ada. Kritik keempat adalah mengutuk teori realis yang mengatakan bahwa negara adalah aktor penting dalam politik internasional padahal MNC dan aktor-aktor transnasional banyak bermunculan, realis menjawabnya dengan membuat perbandingan bahwa British East India Company dimasa lalu lebih hebat dibanding MNC-MNC yang ada sekarang dan bahwa negaralah yang membuat regulasi untuk perusahaan multinasional, ditambahkan bahwa realis tidak menyatakan negara sebagai satu-satunya aktor namun sebagai aktor utama. [4]

Penutup

Realis juga dikritik dengan konsep democratic peace milik liberalis, namun realis menjawab demikian apabila negara demokrasi tidak saling serang dengan negara demokrasi lainnya poin pentingnya bukan karena mereka menyelesaikan sengketa dengan cara-cara demokrasi melainkan karena mereka menghadapi ancaman keamanan yang sama sehingga tercipta common security. Ketika realis diserang karena ketidakmampuannya dalam memprediksi peristiwa besar di akhir perang dingin yakni kehancuran Uni Soviet dan kehancuran tembok Berlin, realis menjawab bahwa toh tidak ada satu teori pun dalam politik internasional yang mampu memprediksi hal tersebut. Liberalist berpendapat bahwa dengan adanya ketergantungan di bidang ekonomi akan tercipta perdamaian, realis memberikan jawaban bahwa boleh saja negara tertarik pada kemakmuran dibanding power militer, namun pada kenyataannya, negara-negara Asia Timur misalnya setelah makmur tetap memperkuat kekuatan militernya. Realis juga tidak menolak keberadaan ancaman-ancaman baru yang lebih popular yakni polusi lingkungan, pengungsi, kemiskinan, kelaparan yang dinilai lebih signifikandari permasalahan keamanan. Realis menekankan bahwa perspektifnya masih relevan mengenai masalah-masalah tersebut dengan mengambil contoh apabila terjadi degradasi lingkungan, masalah tersebut akan memicu dan mempertajam persaingan internasional untuk mendapatkan sumber-sumber daya alam yang semakin langka.

DAFTAR PUSTAKA:

Jackson, Robert dan Sorensen, George, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Penj. Dadan Suryadipura), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005, cet. I

 

Stean, Jill & Pettiford, Llyod, Hubungan Internasional; Perspektif dan tema, (penj. Deasy Silvya Sari), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2009, cet. I

 

http://freya-ariga.over-blog.com/article-32911066.html


[1] Jill Stean & Llyod Pettiford, Hubungan Internasional; Perspektif dan tema, (penj. Deasy Silvya Sari), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2009, cet. I, hal. 41

[2] Jill Stean & Llyod Pettiford, hal. 48-50

[3] Robert Jackson dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Penj. Dadan Suryadipura), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005, cet. I, hal. 88-90

This entry was posted in makalah, Pemikiran and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

3 Responses to Pemikiran Realisme

  1. justishaq says:

    Ulasan ini akan lebih menarik lagi jika dapat mengkomparasi realis dengan perspektif-perspektif kontemporer lainnya, seperti strukturalisme/globalisme, konstruktifisme, atau teori-teori kritikal… Good posting…

  2. Pingback: Prosiding Hukum Kesehatan Download | Terbaru 2015

  3. Pingback: Dimana Download Prosiding Ilmiah | Terbaru 2015

Leave a comment