Fenomena Khutbah Jum’at


Suatu hari seorang teman diundang rapat di sebuah perusahan media di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Berhubung saat itu hari Jumat, teman yang tidak pernah ketinggalan salat lima waktu itu ikut salat Jumat di masjid yang berada di basement gedung tersebut.

Semula semuanya tampak normal-normal saja. Para karyawan datang satu per satu memenuhi masjid dengan bekal niat untuk melaksanakan salat Jumat dan air wudhu. Sekali lagi, semuanya normal-normal saja.

Tidak berapa lama khatib naik ke atas mimbar dan menyampaikan khutbah. Sampai di sini semuanya masih tampak normal-normal saja. Namun semua berubah tatkala khatib berkata, “Seandainya Hitler beragama Islam, pasti dia akan saya angkat sebagai saudara saya”. “Gubrak”.

Dalam kata pengantar sebuah buku, Komaruddin Hidayat menulis bahwa beberapa pekerja profesional dan eksekutif di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, mengeluh kepadanya soal khutbah Jumat yang disampaikan di beberapa masjid di sana. Satu sisi mereka ingin melaksanakan salat Jumat, tapi di sisi yang lain mereka enggan mendengarkan khutbah.

Alasan mereka: alih-alih memberi ketenangan, khutbah Jumat yang disampaikan malah mengajak mereka untuk berperang. Makanya, pada salat Jumat selanjutnya, mereka selalu datang terlambat. Mereka sengaja tidak ingin mendengar lagi khutbah Jumat yang provokatif seperti itu.

Khatib dan Khutbah di Jakarta
CSRC (Center for the Study of Religion and Culture), salah satu lembaga kajian dan penelitian yang berada di bawah UIN Jakarta, pernah melakukan penelitian beberapa masjid yang ada di Jakarta dan Solo. Penelitian itu dibukukan dan terbit pada 2010. Judulnya Benih-benih Islam Radikal di Masjid; Studi Kasus Jakarta dan Solo.

Semula penelitian di Jakarta bertema “Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta”. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan (November 2008 sampai Januari 2009). Dengan pendekatan kuantitatif, survei dilakukan terhadap 250 masjid dari total 2.831 masjid di Jakarta. Data ini diperoleh CSRC dari Departemen Agama pada 2004.

Objek penelitian CSRC ini tentu saja bukan masjid sebagai ruang dan bangunan mati. Yang menjadi objek adalah para pengurus masjid yang biasa disebut takmir masjid. Dan untuk mengetahui orientasi ideologis para takmir masjid, CSRC menanyakan opini mereka mengenai lima isu: sistem pemerintahan, formalisasi syariah Islam, jihad, kesetaraan gender, dan pluralisme.

Penelitian ini tidak berpretensi untuk menghasilkan kesimpulan yang komprehensif. Riset ini dimaksudkan CSRC sebagai riset pendahuluan untuk menelisik praktek pengajaran keagamaan di masjid-masjid di DKI Jakarta dan mengukur kecenderungan orientasi ideologis para takmir yang terlibat langsung dengan aktivitas di dalam masjid.

Temuan CSRC, urutan teratas dari jenis kegiatan keagamaan yang paling umum dilaksanakan di masjid adalah khutbah Jumat (96 persen) Kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya, angkanya lebih kecil. Ceramah tarawih (95 persen) pengajian setelah Magrib (74 persen), taman pendidikan al-Quran (62 persen), zikir bersama (54 persen), pengajian setelah Isya (51 persen), pengajian setelah Subuh (46 persen), seminar atau diskusi (38 persen), lembaga pendidikan formal (14 persen), dan pengajian dhuha (pagi) pada hari libur (13 persen %).

Sebagian masjid yang diteliti juga mendapat pasokan buletin Jumat. Jumlah masjid yang menerima sebanyak 42 persen dan masjid yang tidak menerima sebanyak 58 persen. Buletin Jumat yang diterima masjid adalah al-Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia [HTI] (7 persen), al-Furqon terbitan Dewan Dakwah Islam Indonesia [DDII] (2 persen), Jumat terbitan Kementrian Agama RI (1 persen), Shirotal Mustaqim terbitan Center for Moderate Muslim (1 persen), dan lain-lain.

Soal penentuan khatib, kebanyakan masjid di Jakarta (77 persen) tidak memperhatikan aspirasi jamaah. Hanya 23 persen masjid di Jakarta yang memperhatikan aspirasi jamaah. Dan untuk menentukan khatib Jumat, masjid di Jakarta sebagian besar ditentukan melalui rapat pengurus (89 persen), 9 persen ditunjuk oleh imam utama masjid atau sesepuh masjid, dan 6 persen ditentukan oleh dewan kerahonian masjid.

Pengurus masjid biasanya (74 persen) hanya mengundang khatib yang segolongan atau sealiran dengan ideologi takmir masjid. Hanya 14 persen masjid di Jakarta yang memberi kesempatan kepada khatib yang tidak sealiran dengan ideologi takmir masjid. Selebihnya, 8 persen masjid yang memberi ruang bagi khatib bagi cendikiawan Muslim. Yang paling penting diperhatikan oleh takmir masjid adalah khatib haruslah pintar dalam hal agama dan tidak dianggap sesat oleh MUI.

Para khatib masjid di Jakarta adalah khatib perorangan yang tidak bergabung dalam satu ikatan atau paguyuban (71 persen). Yang berasal dari lembaga dakwah tertentu 13 persen, dan 16 persen lainnya berasal dari dua kategori sebelumnya. Adalah Yayasan Khutoba’ al-Fudhola Jakarta, (5 persen), lembaga yang paling banyak memasok khatib Jumat di Jakarta. Lainnya Dewan Dakwah Islam Indonesia (4 persen), Persatuan Islam (3 persen), Kemenag RI (2 persen), Dewan Masjid Indonesia (2 persen), Muhammadiyah (2 persen), Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama (1 persen), Majelis Mujahidin Indonesia (1 persen), dan lain-lain.

Takmir masjid juga mempertimbangkan latar belakang pendidikan seorang khatib. Takmir masjid yang mengundang khatib dengan latar pendidikan dalam negeri sebanyak 58 persen. Sedikit masjid yang memilih khatib alumni luar negeri (4 persen). Selebihnya (38 persen) tidak mempersoalkan latar belakangan pendidikan khatib.

Jika ditelusuri lebih jauh, para khatib alumni kampus dalam negeri mayoritas berasal dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri [PTAIN] (58 persen). Selebihnya dari pesantren (27 persen), Perguruan Tinggi Negeri (6 persen), Perguruan Tinggi Swasta (6 persen), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (3 persen). Sementara khatib yang latar belakangan pendidikannya berasal dari luar negeri hanya 4 persen. Mereka adalah alumni dari Mesir, Arab Saudi, Yaman, dan Damaskus.

Untuk materi khutbah yang disampaikan, para khatib Jumat masjid di Jakarta biasa menyampaikan khutbah yang bermuatan ibadah murni (28 persen). Paling sedikit (2 persen), hanya menyuarakan isu-isu sosial-politik. Yang paling besar adalah khatib Jumat yang menyampaikan khutbah Jumat tentang hal-hal ibadah yang dikaitan dengan isu-isu sosial-politik (70 persen).

Adapun isu-isu yang biasa diangkat dalam khutbah Jumat yang ada di masjid di Jakarta adalah menghormati keyakinan agama lain (63 persen), kesetaraan hak non-Muslim (51 persen), syariah dijadikan peraturan perundangan resmi (28 persen), jihad melawan non-Muslim/Barat/sekuler (26 persen), mendirikan Khalifah Islamiyah sebagai kewajiban (22 persen), ada kebenaran dalam agama lain (18 persen), perempuan bisa menjadi presiden (18 persen), dan mendirikan Negara Islam (9 persen).

Masih Moderat
Dari hasil penelitian CSRC di atas, ada beberapa hal yang bisa kita garisbawahi. Pertama, khutbah Jumat adalah salah satu kegiatan keagamaan yang paling sering diselenggarakan oleh umat Islam. Karena itu, di manapun masjid didirikan, para takmir masjid akan selalu memasukan khutbah Jumat dalam daftar kegiatan rutin mereka. Salah satu masjid yang saya kenal baik para pengurusnya, bahkan, sudah merancang untuk setahun ke depan nama-nama yang akan menyampaikan khutbah Jumat.

Tak hanya sebagai kegiatan yang paling sering, khutbah Jumat juga memiliki posisi yang penting bagi umat Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi pernah bersabda, “Jika engkau berkata kepada temanmu di hari Jumat, ‘diamlah!’ ketika imam sedang berkhutbah, maka engkau telah melakukan (Jumat) yang sia-sia.” Dengan landasan teologis ini, jamaah sidang Jumat ‘dipaksa’ harus menyimak materi khutbah yang disampaikan. Di samping itu, materi khutbah Jumat juga lebih massif tersebar mengingat banyak Muslim laki-laki tumpah ruah melaksanakan salat Jumat di masjid dibanding salat lainnya.

Namun sayangnya khutbah Jumat kadang dimanfaatkan untuk memprovokasi umat dan mencaci-maki kelompok lain. Dalam sejarah Islam, ketika terjadi persaingan politik di dalam tubuh umat antara faksi Umayah dan Abasiyah, atau antara kelompok Suni dan Syiah, khutbah Jumat jadi momen untuk menghina dan merendahkan lawan politik, seraya memuji kelompoknya sendiri.

Kedua, secara umum khutbah Jumat di Jakarta masih mengkampanyekan Islam yang moderat. Ini bisa dilihat dari dua isu yang paling banyak disampaikan para khatib: menghormati keyakinan agama lain (63 persen), kesetaraan hak non-Muslim (51 persen). Ini menjadi logis bila melihat latar belakang pendidikan para khatib yang berasal dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan dari pesantren. Para khatib alumni dua lembaga pendidikan ini biasanya memiliki basis pengetahuan agama yang kuat dan kaya dengan khazanah Islam klasik yang beragam sehingga cenderung moderat.

Namun jika ini tidak dijaga, bisa jadi isu jihad melawan non-Muslim/Barat/sekuler (26 persen) atau  mendirikan Khalifah Islamiyah sebagai kewajiban (22 persen) menjadi isu dominan dalam setiap khutbah Jumat. Ditambah buletin Jumat yang banyak beredar di masjid-masjid di Jakarta berasal dari HTI dan DDII yang dikenal sebagai organisasi yang ekstrem. Bila tema-tema seperti ini sering disampaikan di setiap khutbah Jumat dan ditulis di setiap edisi buletin Jumat bisa jadi wajah Islam Indonesia yang dikenal damai dan ramah, sejalan dengan masuknya Islam ke Nusantara yang juga dengan damai (penetration pacifique), tinggal fosil belaka.

Ketiga, untuk itu menjaga masjid agar tidak disusupi ‘para pembajak’ menjadi penting. Muhammadiyah dan NU mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan masjid-masjid yang berada di bawah pengaruh mereka tidak terinfiltrasi pemikiran-pemikiran ekstrim. Langkah ini diambil sebagai langkah preventif setelah banyak masjid dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini yang berpindah tangan.

Pengurus Pusat Muhammadiyah, misalnya, mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah No.149/Desember 2009 yang isinya agar hasil amal usaha Muhammadiyah tidak dicaplok ‘para pembajak’. Sedangkan NU melalui Pengurus Besarnya mengeluarkan rekomendasi tentang sertifikat masjid-masjid milik NU agar jelas identitasnya. Bahkan menurut Masdar F. Mas’udi kalau perlu pesantren-pesantren yang ada di bawah NU juga perlu disertifikasi.

Bila ditilik lebih jauh, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU tersebut mengandaikan ‘gerakan kembali ke masjid’. Ini mesti dilakukan agar pemikiran keislaman Muhammadiyah dan NU yang damai, ramah, dan khas Indonesia tidak hanya bisa didengar di kampus dan di ruang-ruang seminar saja. Tapi juga terdengar di masjid yang menjadi basis pembelajaran keislamanan masyarakat umum. Dengan gerakan kultural kembali ke masjid ini, semoga bisa mengurangi peran kelompok Islam ekstrim yang selama ini menguasai masjid-masjid kita.

—————

DITULIS OLEH IRWAN AMRIZAL Dalam www.madina-online.net
This entry was posted in Informasi, Pemikiran, Penelitian and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment