DARI HARAMAIN KE NUSANTARA: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren


1.Pendahuluan

Dalam buku ini membahas lima ulama penting yang diasumsikan sangat berpengaruh dalam dunia pesantren. Mereka adalah tokoh ensiklopedi dan multidisiplin ilmu, antara lain :

1.  Nawawi al-Bantani (meninggal 1897)

2. Spesialis Hadis Mahfuz Tremas atau At-Tirmisi (meninggal 1919) Yang biasa dijuluki al-Muhaddist dan al-musnid.

3.  Khalil Bangkalan (meninggal 1924)

4.  K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959)

5.  K.H.Hasyim Asy’ari (1871-1947)

Nawawi Al-Bantani dan At-tirmisi akan diklarifikasikan sebagai guru besar pesantren, sedangkan tiga lainnya akan dikelompokan sebagai ahli strategi pesantren. Meskipun dalam beberapa hal lingkungan dan latar belakang sosial keagamaan lima ulama ini tipikal, tetapi kontribusi mereka terhadap perkembangan dunia pesantren ternyata sangat berbeda. Kelompok yang poertama (Nawawi Al-Bantani dan At-Tarmisi) ditandai dengan karya-karya produktif mereka dan status mereka sebagai imam alHaramain di Timur Tengah. Karya-karya mereka yang semuanya dalam bahasa arab tidak hanya dipelajari oleh para santri Jawa saja, tetapi juga oleh muslim di berbagai penjuru dunia. Warisan utama mereka pada dunia pesantren terletak pada keikhlasan dan dedikasi mereka di Mekkah dan Madinah untuk mentransfer penetahuan mereka dan mendidik para pendiri pesantren yang masyhur.

Tiga ulama (Khalil Bangkalan, K.H.R. Asnawi Kudus, K.H. Hasyim Asy’ari mereka tekun belajar ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan guru besar Nawawi Al-Bantani dan At-Tarmisi. Meskipun dua ulama itu menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar di Timur Tengah, tetapi posisi mereka sebagai master intelektual dunia pesantren tidak perlu diragukan lagi. Karena pada kenyataannya mereka senantiasa telah menjadi kiblat bahan inspirasi dan kiblat dunia pesantren. Tiga tokoh yang disebut ahli strategi dunia pesantren telah mendirikan lembaga-lembaga pesantren di Jawa, Sunda, dan Madura setyelah mereka menyelesaikan pendidikan di Hijaz. Keterlibatan mereka secara langsung di dunia pesantren menjadikan dirinya sebagai tokoh-tokoh ampuh yang paling dihormati bahkan dikagumi dan model utama bagi para pemimpin pesantren. Lebih dari itu, mereka adalah mastermind yang berhasil melembagakan masyarakat santri dalam skala nasional dengan pengaruh dan rekayasa mereka dalam mendirikan organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang didirikan di Jawa timur tahun 1926.

2. Isi Buku dan Pokok-Pokok Utama Pembahasan

Isi buku ini berupaya untuk menjelaskan ajaran-ajaran muslim Jawa dan jaringan ulama melalui perspektif sosiohistoris, kultural, ideologis. Ruang lingkup pembahasannya adalah sebagai berikut, setelah pendahuluan pada Bab I, latar belakang ideologis dan historis pembelajaran Islam akan dibahas pada Bab II. Mengenai modelling dengan menampilkan model-model yang sudah tidak diragukan di kalangan santri, Muhammad SAW. Dan Walisongo akan dibahas pada bab yang sama. Jaringan ulama Jawa dapat ditemukan dalam Bab III. Dan Bab IV dan Bab V merupakan inti dari studi ini yaitu berisi para ulama yang paling berpengaruh di Jawa. Bab terakhir yaitu Bab VI akan menyimpulkan temuan-temuan utama dari studi ini. Adapun pokok-pokok utama pembahasan adalah :

a.  Bagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. (w.632 M) tentang pendidikan Islam dipahami pada abad XIX dan awal abad XX di Jawa ?

b.  Bagaimanakah para sarjana muslim Jawa memandang dan menerapkan doktrin-doktrin ini ?

c.  Apa pengaruh jaringan intelektual ulama Jawa yang berada di Jawa dan Arab terhadap pendidikan kaum muslim di Jawa ?

d.  Apa signifikasi ajaran islam di kalangan orang-orang Islam Jawa pada umumnya ?

e.   Apa isi dan subtansi ajaran ulama ?

f.  Bagaimana sistem kemasyarakatan yang komplek kehidupan msyarakat Jawa di bawah pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi ilmu pengetahua ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pokok-pokok pembahasan dalam buku ” Dari Harmain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren ” karya Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, MA.,Ph.D. dalam rangka menjelaskan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan para arsitek pesantren di Jawa-Indonesia pada paruh kedua abad XIX dan paruh pertama abad XX M.

Merupakan bukti signifikasi bahwa wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Dimulai dengan perintah Ilahiah ” bacalah” (Iqra). Ayat berikutnya menegaskan bahwa dengan pena (al-qalam) Allah SWT. mengajarkan manusia mengenai bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam dalam proses belajar mengajar secara luas. Pada abad XIX di Timur Tengah dan Jawa di bawah bimbingan Mahfuz at_Tarmisi (w.1919) sudah mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu hadist. Dalam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang beribadah sepanjang waktu. Kelebihan ahli ilmu (al-’alim) dibandingkan dengan ahli ibadah (al-’Abid) adalah seperti kelebihan Nabi Muhammad SAW. atas seorang muslim yang paling lemah. Di kalangan kaum muslim, hadist ini demikian populer hingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.

Nabi Muhammad SAW. menjamin bahwa yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan-kemudahan oleh Tuhan menujusurga. Hadist-hadist Nabi membuktikan hubungan tersebut : seseorang yang pergi mencari ilmu adalah berada di jalan Tuhan (sabilillah), hingga dia kembali, ia memperoleh pahala sebagaimana orang yang berperang menegakan agama. Para malaikat  membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdo’a untuknya, termasuk ikan dalam air.

Para sarjana muslim Jawa atau ulama yang berskala Internasional berpusat di Mekkah dan Madinah yang secara bertahap menunjukan suatu peran yang signifikan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan Islam di Nusantara melalui para pelajar dari Malaka-Indonesia. Beberapa sarjana muslim atau ulama  Jawa seperti Nawawi al-Batani, seorang ’alim yang pada abad XIX mendapat julukan sayyid ulama al-Hijaz, menjadi seorang guru yang sangat termasyur baik di Mekkah dan Madinah. Setelah menghabiskan waktu 30 tahun untuj kegiatan belajar dan menulis, di tempat yang sama dia juga memberi kuliah antara tahun 1860 sampai1870. karyanya seperti Marah Labid, sebuah kitab tafsir yang cukup besar, terdiri dari dua jilid ditulis dalam bahasa arab telah digunakan secara luas di berbagai negara muslim. Nawawi al-Batani adalah model bagi orang Jawa yang ada di Arab maupun di Jawa, serta tidak terbantah lagi memiliki pengaruh dan kontribusi besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tipikal ulama Sunni Jawa, yakni para kiyai berikut santrinya. Karena menjadi bagian dari ulama internasional di Arab, maka ia menjadi sumber penting kebanggaan kalangan santri Jawa. Murid-muridnya di masa mendatang terbukti menjadi pemimpin ulama yang dikenal sebagai pendiri pesantren dan organisasi muslim seperti Nahdatul Ulama (NU), organisasi ini didirikan oleh murid kesayangan Nawawi Hasyim Asy’ari(1871-1947) pada tahun 1926 ia adalah seorang guru sufi kenamaan di Jawa Timur dan pendiri pesantren tradisional kenamaan Tebuireng yang didirikan pada tahun 1889.

Perang Diponegoro (1825-1830) melibatkan ulama dengan para santri mereka di pihak diponegoro. Dalam perang sabilallah ini, orang-orang Islam Jawa tidak hanya memiliki para kiai sebagai pemimpin dan guru yang berpengaruh tetapi juga mengagungkan Diponegoro sebagai pemimpin sejati yakni sebagai komandan revolusifisik melawan kaum kolonial. Revolusi serupa namun bersifat reaksi lokal melawan kaum kolonial dilancarkan oleh gerakan TarekatNaqsyabandiyah pada tahun 1888. Setidaknya perlawanan yang terjadi di Banten tersebut didorong oleh motif-motif ekonomi agama. Asumsi ini didasarkan atas fakta bahwa pemberontakan ini terutama melibatkan elemen-elemen pesantren dan kaum petani.

Studi ini akan menafsirkan signifikan pandangan Islam terhadap ilmu secara sosial, budaya, dan ideologi khususnya menjelaskan bagaimana ajaran-ajaran Islam di tangan para ulama yang briliant pada abad XIX dan awal abad XX M, telah memainkan peran sentral dalam pengalaman keagamaan bagi hampir seluruh muslim Jawa.

Abad XIX M merupakan sebuah periode trnsisi maupun transformasi yang tak bisa di sangsikan lagi telah terjadi jaringan langsung yang berkembang sedemikian luasantara ulama Jawa dan Timur Tengah.

3.  Analisa Buku

Membaca buku ini, kita akan lebih memahami historis lima ulama besar tokoh ensiklopedis dan multidisiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam dunia pesantren, yaitu Nawawi Al-Batani, Syekh Mahfuz At-Tarmisi, Kiai Khalil Bangkalan, K.H.R. Asnawi Kudus, K.H. Hasyim Asy’ari, menjelaskan perkembangan dan bentuk jaringan ulama Nusantara yang terbentuk pada abad XVII sampai XIX terhadap perkembangan intelektual dan dinamika umat Islam di Indonesia.

Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, MA.,Ph.D. dalam buku ini menunjukan upaya ilmiah yang sangat bermutu dan menambah wawasan pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan Islam dari Harmain Hingga ke Nusantara. Buku ini memaparkan pendekatan kombinasi etnografis dan historis terhadap dunia pesantren pra kemerdekaan Indonesia.

Buku ini wajib dibaca oleh para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya sebagai kajian intelektual yang mengeksplorasi berbagai aspek mengenai fungsi dan peranan ulama di Nusantara.

Sejarah bangsa Indonesia mencatat barbagai peran para ulama baik sebelum kemerdekaan, masa revolusi fisik maupun dalam mengisi pembangunan. Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dikemukakan adalah posisi ulama sebagai kelompok terpelajar yang membawapencerahan kepada umatIslam di Indonesia. Pencerahan tersebut di antaranya melalui lembaga pendidikan, baik dalam bentuk sekolah maupun pesantren. Selain itu melalui ormas-ormas keagamaan, para ulama juga telah berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sepanjang Nusantara.

Buku ini sebuah karya yang sangat istimewa, namun sedikit masukan dalam penulisan Muhammad ditulis dengan tidak lengkap sebaiknya Nabi Muhammad SAW. Seperti pada hal. 34 hanya dituliskan Nabi, sedangkan dalam ajaran Islam diketahui nabi lebih dari satu. Walaupun pembaca dapat memahami makna dalam bacaan tersebut namun idealnya dijelaskan dengan penulisan Nabi Muhammad SAW. hal ini diketemukan pada beberapa pembahasan di beberapa halaman yang hanya mencantumkan kata Muhammad tanpa SAW. Penulisan SAW sebagai penjelasan yang membedakan Muhammad Ynag seorang nabi Allah SWT. dan Muhammad yang seorang manusia biasa.

Demikian analisa buku ”Dari Haramain ke Nusantara  Jejak Intelektual Arsitek Pesantren” yang membahas dari sisi kelebihan dan kekurangan buku ini. Senoga masukan berupa kritik dan saran, berguna bagi penulisan buku di kemudian hari.

4.  KESIMPULAN

Dalam struktur masyarakat Indonesia, ulama memiliki fungsi yang cukup signifikan, maka ia adalah leader yang berdiam pada suatu komunitas tertentu yang sudah barang tentu mempunyai tanggung jawab dalam memberikan pengarahan dan bimbingan dalam msyarakat, baik itu terkait dengan persoalan-persoalan keagamaan, maupun jawaban atas problematikamasyarakat.

Seorang ulama lahir dan barasal dari kalangan umat beragama, yakni umat Islam. Secara etimologis, pengertian ulama kurang lebih sama dengan pengertian seorang cendekiawan. Yakni seorang tidak hanya dituntut untuk memiliki kapasitas keilmuan yang mendalam, tatapi juga harus mamiliki concern yang jelas terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Dari ungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang luas dan berfungsi sebagai pengayom, panutan, dan pembimbing di tengah umat atau masyarakat.

Salah satu peran ulama sebagai tokoh islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajaryang membawa pencerahan (enlightenment) kepada masyarakat di sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan keagamaan telah mereka dirikan, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua lembaga itu ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpelajar. Para ulama telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan khususnya agama Islam melalui karya-karya yang telah ditulis atau jalur dakwah yang mereka tempuh dengan gigih.

Sejarah membuktikan bahwa ulama sebagai salah satu kelompok masyarakat yang disebut pemimpin informasi yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Adalah sebuah kenyataan bahwa sebelum masyarakat mengenal apa yang dinamakan pemimpin masyarakat, masyarakat Islam telah mengenal apa yang dinamakan kiai, ajengan, Tuang guru, Tengku, Syekh, serta sebutan lain yang kesemuanya itu adalah golongan alim ulama.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Prpf. Dr. Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D, Dari Haramain ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

This entry was posted in Penelitian, Resensi Buku and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment