GLOBAL WARMING TRAGEDI PERADABAN MODERN


A. Mukadimah

Ibarat tubuh manusia, cuaca – iklim juga terdiri dari organ-organ tubuh yaitu udara bumi dan cahaya matahari. Kalau salah satu organ tubuh tersebut sakit maka dapat dipastikan seluruh tubuh akan merasakan sakit. Begitupun kalau salah satu faktor baik udara, bumi atau cahaya matahari terganggu maka cuaca yang terbentuk akan menjadi ekstrim dan timbulnya gejala perubahan cuaca dalam jangka panjang yang biasa disebut sebagai perubahan iklim (climate change).

Terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming) yang diiringi dengan beragam fenomena alam ini sebenarnya telah banyak diberitakan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Global Warming yang baru ramai dibicarakan oleh manusia di akhir abad ke-20 dan semakin panas isunya di abad ke-21 saat manusia semakin merasakan dampaknya pada diri dan lingkungan mereka tinggal, sebenarnya hal itu telah banyak disebutkan dalam 2 sumber pokok ajaran kita (umat islam). Dampak dari global warming telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai tanda kehancuran dunia.

Mayoritas kajian akademik dan penelitian tentang global warming baru dilakukan dalam dua perspektif: ilmu pengetahuan-teknologi dan kebudayaan. Sedikit sekali kajian serius yang melihat masalah global warming dari perspektif keagamaan (Islam). Oleh karenanya, tulisan ini akan mengulas tanda-tanda sekaligus dampak yang ditimbulkan global warming di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits serta solusi yang ditawarkan keduanya.

B. Apa Itu Global Warming?

Saat ini, hampir seluruh penduduk dunia merasakan suhu udara yang semakin panas. Kekeringan terjadi di mana-mana. Musim yang tidak menentu menyebabkan gagal panen, terutama di kalangan petani tradisional. Konon menurut para ahli, kondisi demikian merupakan dampak global warming.

Global warming merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata udara permukaan bumi dan lautan. Suhu udara rata-rata permukaan bumi meningkat 0.740 ± 0.180 C dalam 100 tahun terakhir. Suhu global cenderung meningkat sebesar 1.10 sampai 6.40 C antara tahun 1990 dan 2100. (Bruce Mitchell, 2000:24). Artinya, bencana tersebut sudah di ambang pintu alias di depan mata. Diperkirakan 30 tahun mendatang air laut naik 10 meter dan akan sanggup menenggelamkan demikian banyak wilayah di Indonesia, bahkan dunia. (2000:37). Jika peristiwa itu benar terjadi, sama artinya tragedi bagi umat manusia di bumi.

Penyebab utama global warming adalah tingginya level greenhouse gases (gas-gas rumah kaca), terutama CO2 (karbondioksida) dan metana di atmosfer akibat aktifitas manusia, seperti tingginya laju pembakaran bahan bakar fosil—seperti bensin, solar, dan lainnya—dan perubahan fungsi lahan terutama deforestasi (penebangan hutan). (Achmad Baiquni, 1995:99).

Global warming telah terbukti memiliki dampak yang sangat luas pada kehidupan manusia. Tejadinya berbagai bencana alam, seperti gelombang panas, badai tropis, banjir, tsunami, atau kekeringan berkepanjangan yang melanda beberapa negara beberapa tahun terakhir ini ditengarai merupakan efek dari global warming. Selain menelan korban jiwa, bencana-bencana tersebut telah menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, dan sosial yang sangat besar. Meningginya level permukaan laut akibat global warming juga telah menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat penghuni pulau-pulau kecil di beberapa negara akan keberadaan tempat tinggalnya pada beberapa tahun yang akan datang.

Global warming juga diyakini sebagai penyebab munculnya wabah berbagai penyakit. Dimana, perubahan iklim dapat merubah pola distribusi dari vektor-vektor tersebut dan juga mempengaruhi laju reproduksi dan maturasi (pematangan benih) dari agen infektif yang ada di dalam tubuh vektor. (Purwanto, 2008:29). Kondisi inilah yang diyakini menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian Malaria dan Dengue pada beberapa negara, termasuk Indonesia.

Seperti kita ketahui bersama bahwa dampak dari global warning (pemanasan global) atau perubahan iklim cuaca sudah menjadi isu internasional yang dikampanyekan untuk segera dicarikan solusinya. Bahkan merupakan salah satu isu yang sangat penting di seluruh dunia saat ini, selain terorisme. Gegap-gempita penyelamatan alam semesta sudah dimulai sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Tercatat 154 kepala negara menyepakati hasil Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang mulai diberlakukan pada 1994. Langkah terus berlanjut dengan disetujuinya Protokol Kyoto I dan II, dimana negara-negara industri yang merupakan agen terbesar terjadinya global warming harus menurunkan secara sistematis emisi CO2 dan gas rumah kaca. (Kompas, 18 Januari 2001. Hal. 8, 18).

Kampanye selanjutnya berlangsung di Bali, Indonesia pada 3 – 14 Desember 2007. Pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah dalam kegiatan tersebut merupakan suatu hal yang menarik. Mengingat Indonesia merupakan paru-paru dunia yang memiliki luas hutan terbesar di dunia sehingga tidak hanya untuk Indonesia sendiri, namun negara-negara lain pun memiliki kepentingan terhadap kelestarian hutan yang ada di Indonesia.

C. Global Warming dalam Al-Qur’an

Secara eksplisit, istilah global warming atau pemanasan dunia global tidak akan ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun hadits, karena ia merupakan istilah baru yang diperkenalkan manusia modern (para ahli bumi) disebabkan penemuan ilmiah mereka tentang keadaan cuaca yang tidak menentu, terjadinya bencana alam di hampir seluruh permukaan bumi, glasier es kutub yang mencair sehingga menenggelamkan beberapa pulau di dunia, munculnya wabah-wabah penyakit di beberapa negara secara bersamaan dan fenomena-fenomena alam lainnya yang ternyata kesemuanya itu disebabkan oleh satu hal yang sama.

Kondisi demikian diketahui akibat semakin meningkatnya volume kebutuhan manusia terhadap alat transportasi sekaligus penggunaan bahan bakarnya, kebutuhan terhadap pakaian dan lain-lainnya  menyebabkan munculnya industri-industri baru yang mayoritas tidak memperhatikan pembuangan limbah olahannya, penebangan dan pembakaran hutan dan lain sebagainya disamping jumlah kelahiran di dunia yang tidak seimbang dengan jumlah kematian juga turut menentukan penyebab global warming. (Purwanto, 2008:24).

Setiap aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pasti mempengaruhi lingkungan. Hal tersebut telah ditanyakan oleh para malaikat kepada Allah saat malaikat bertanya tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi padahal manusia itu akan membuat kerusakan di dalamnya. Pertanyaan ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).

Manusia sejak lahir memerlukan dukungan alam seperti selimut, kain, popok, makanan, susu dan lain sebagainya, sehingga keberadaan manusia di muka bumi akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Semakin banyak jumlah manusia maka kecenderungan kerusakan lingkungan semakin besar. Semakin banyak kebutuhan manusia, semakin cepat terdegradasi lingkungan di sekitarnya.

Lingkungan memiliki daya lenting berupa kemampuan untuk kembali ke keadaan semula setelah diintervensi. Lingkungan dapat kembali ke keadaan keseimbangan apabila terjadi intervensi, namun tingkat pengembaliannya memerlukan banyak waktu. (Baiquni, 1996:98). Kecepatan intervensi manusia sendiri tergantung dari tingkat kebutuhan dan keinginannya.

Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil umumnya disebabkan aktivitas industri, transportasi, dan rumah tangga. Aktivitas tersebut meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan keinginan masyarakat modern yang semakin beragam.

Jika demikian halnya, pelaku kerusakan lingkungan adalah manusia-manusia itu sendiri yang hanya bisa menjadi konsumen terhadap sumber daya alam dan untuk memenuhi selera konsumtifnya mereka berlomba-lomba mendirikan pabrik-pabrik, industri-industri tanpa banyak memperhatikan kelestarian lingkungan. Sehingga sangat wajar bila kemudian terjadi berbagai macam musibah bencana alam yang menimpa seluruh masyarakat di dunia ini. Hal ini memang telah digariskan Allah di dalam Al-Qur’an:

Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Al-Syura: 30).

Sebagai contoh sederhana, kita makan dengan sambal yang sangat pedas dan berlebihan, lantas sakit perut tentu saja itu disebabkan kesalahan kita akibat makan sambal berlebihan. Demikian pula perubahan iklim dan pemanasan global akibat terbukanya lapisan ozon yang menjadi pelindung bumi dari sinar-sinar “jahat” matahari (ultraviolet). Pencemaran (polusi) udara merupakan salah satu penyebabnya. Polusi ini sudah dimulai sejak manusia menggunakan api untuk membuka lahan pertanian, memanaskan serta memasak dan semakin besar permasalahannya ketika dimulainya Revolusi Industri abad ke-18 dan ke-19. Ditambah kebutuhan terhadap alat transportasi yang semakin tinggi yang merupakan salah satu penyumbang terbesar polusi udara.(Purwanto, 2008: 18).

Polusi udara berupa gas SO2 (Sulfur Dioksida) dan oksida-oksida nitrogen bersenyawa dengan uap air menghasilkan asam sulfur dan asam nitrogen. Asam-asam ini jatuh ke tanah bersama air hujan atau salju, sehingga kemudian dikenal dengan hujan asam. (Purwanto, 2008:22). Hujan asam ini menyebabkan kematian organisme air sungai dan danau serta kerusakan hutan dan bangunan. Keadaan ini telah disebutkan Rasulullah saw. di dalam Haditsnya sebagai tanda akhir zaman:

الْجَوَائِحُ كُلُّ ظَاهِرٍ مُفْسِدٍ مِنْ مَطَرٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ جَرَادٍ أَوْ رِيحٍ أَوْ حَرِيقٍ —  رواه ابو داود

“Kebinasaan adalah segala sesuatu yang jelas merusak berasal dari hujan, salju, belalang, angin atau kebakaran”. (HR. Abu Daud, Juz 9 no. 3011).

Dan sabda Nabi saw.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ السَّنَةَ لَيْسَ بِأَنْ لَا يَكُونَ فِيهَا مَطَرٌ وَلَكِنَّ السَّنَةَ أَنْ تُمْطِرَ السَّمَاءُ وَلَا تُنْبِتَ الْأَرْضُ —  رواه أحمد

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kiamat bukanlah karena tidak ada hujan, tetapi kiamat adalah ketika langit menurunkan hujan tetapi bumi tidak menumbuhkan sesuatu apapun”. (HR. Ahmad, Juz 17 no. 8155).

Di dalam situs Wikipedia dijelaskan bahwa peningkatan suhu global akan menyebabkan permukaan air laut naik serta akan merubah jumlah dan pola curah hujan. Pemanasan tersebut diramalkan akan semakin tinggi di sekitar kutub utara yang akan berdampak pada mencairnya es kutub. (www.wikipedia.com). Kutub utara dan kutub selatan yang terdiri dari gunung dan benua es secara berangsur terus mencair. Bahkan Emil Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup) menyatakan dalam 10 tahun terakhir 23 pulau-pulau kecil tak berpenghuni tenggelam akibat permukaan air laut naik. Daerah Pantura (Pantai Utara) Jawa Barat; sudah setengah tahun desa dan kampung-kampungnya setiap hari terendam banjir akibat air laut naik. (Purwanto, 2008:25). Ini tidak mungkin bisa diatasi dengan membendung laut. Semua disebabkan pemanasan global yang efeknya sudah sangat jauh.

Jika volume air laut bertambah, maka permukaan laut akan naik. Diperkirakan pada tahun 2030 suhu akan naik 1.5 – 4.50 C. Air laut naik 25 – 140 cm. Kota yang tanahnya di bawah permukaan laut—seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya—punya masalah besar. Jika permukaan laut naik 1 cm, garis pantai akan mundur 1 m. (Purwanto, 2008:15). Untuk kenaikan 25 – 140 cm, maka garis pantai mundur 25 – 140 m. Bisa kita bayangkan seperti apa perubahan wajah peta dunia. Firman Allah swt. dalam Surat Al-Infithar ayat 3 sudah terbukti kebenarannya.

“Dan apabila lautan dijadikan meluap”. (QS. Al-Infithar: 3).

Sering kita dengar istilah efek rumah kaca (green house effect) akibat gas karbon (monooksida dan dioksida) yang dihasilkan negara-negara industri membentuk semacam lapisan kaca di udara mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke bumi tidak bisa terpantulkan lagi karena terhalang efek rumah kaca ini. (Purwanto, 2008:27). Demikian halnya dengan hutan, pepohonan dan dedaunan yang seharusnya mampu mengatasi proses asimilasi karbon menjadi senyawa berbahaya. Tetapi karena illegal loging terjadi dimana-mana maka gas karbon kemudian mengangkasa mengakibatkan global warming yang terus meningkat.

Hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Kita berasal dari tanah dan hidup dari tanah. Karena itu, kita harus punya perhatian pada planet tempat kita berpijak. Sayangnya, penebangan tanpa diikuti peremajaan hutan, selalu terjadi. Akibatnya, tanah perbukitan rusak, bencana banjir bandang dan tanah longsor membunuh penduduk sekitar, air menggenangi lahan pertanian, kala kemarau kebakaran hutan mencemari langit kita. Fenomena ketidakseimbangan hidrologik dan klimatologik sudah di depan mata. Belum lagi binatang-binatang tertentu semakin langka, pembangunan kota dilakukan tanpa aturan tata ruang yang baik, areal persawahan semakin sempit terdesak ekspansi areal perumahan baru dan industri. Padahal, Allah telah mengingatkan kita di dalam firman-Nya:

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 205).

Siklus air (hidrologis) merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Air yang turun ke bumi dalam bentuk hujan, diserap pepohonan, lalu menguap ke udara membentuk awan dan kembali menjadi hujan. (Purwanto, 2008:15). Namun, jika proses penguapan itu berasal dari air yang dikotori sampah-sampah manusia, limbah-limbah industri dan rumah tangga yang mengandung berbagai macam zat kimia, maka ia akan bersatu dengan unsur-unsur di udara membentuk senyawa baru yang lebih berbahaya dan selanjutnya turun ke bumi bersama air hujan.

Bisa dibayangkan akibat yang terjadi, yaitu pepohonan tidak dapat menyerap air beracun, manusia kesulitan mendapatkan air bersih, berbagai jenis penyakit baru mewabah (penyakit kulit, saluran pencernaan, pernapasan, dengue, dan lain sebagainya), para nelayan kesulitan mencari ikan karena kadar oksigen air terkontaminasi dan ikan-ikan mencari tempat steril di laut yang lebih dalam. Bila hal ini berlangsung terus-menerus, kiamat memang sudah kian dekat. (Sayuti Rahawarin, 2006:77). Sebagaimana sebuah Hadits marfu’ diriwayatkan Anas bin Malik bahwa Nabi saw. bersabda:

“Sungguh diantara tanda kiamat adalah maraknya kematian secara mendadak”.

Kerusakan lingkungan hidup (ecological destruction) yang dilakukan manusia telah menyebabkan global warming kemudian berakibat pada climate change serta semakin rusaknya keseimbangan alam. Inilah bencana sekaligus musibah massal yang Allah timpakan kepada umat manusia tanpa memandang usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, status sosial, muslim-kafir, shaleh-thaleh. Demikian itu merupakan bukti kebenaran sabda Nabi Muhammad saw. ketika ditanya para sahabatnya tentang kemungkinan terjadinya bencana di suatu daerah yang di sana masih terdapat orang shaleh dan ‘abid (ahli ibadah), yakni ketika mereka berdiam diri dan tidak peduli terhadap kemaksiatan yang terjadi di sekelilingnya. (Al-Hadis).

D. Saatnya Menjadi Rahmatan lil ‘Alamin

Proses kerusakan lingkungan telah terjadi dan terus terjadi. Alam seperti tak bersahabat lagi dengan manusia. Tidak ada kenyamanan lagi kala menghirup udara pagi. Hingga bisa jadi, suatu saat kehidupan terhenti dengan cepat. Itu semua karena ulah tangan manusia dan bencananya pun menimpa manusia itu sendiri. (QS. Ar-Rum: 41).

Untuk mengatasinya, kita harus membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) bertakwa yang bisa mengelola bumi sesuai petunjuk Allah swt. Dengan begitu, bukan hanya kita (manusia) yang sejahtera tapi juga alam ikut lestari. Sebab, manusia diciptakan Allah untuk mengemban tugas seperti yang dibebankan kepada Nabi kita:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).

Paradigma rahmatan lil ‘alamin bukan hanya menyangkut aspek diniyah, tapi juga secara zhahir bahwa seorang mukmin adalah manusia yang menjadi bagian dan pemberi kesejahteraan bagi lingkungan tempat hidupnya. Sayyid Quthub di dalam tafsirnya, Fi Dzilal Al-Qur’an (2004: Juz 8, 92), menjelaskan bahwa risalah Nabi Muhammad saw. berlaku untuk umatnya yang beriman dan keseluruhan manusia serta segala hal yang manusia berhubungan/berinteraksi dengannya. Hal senada juga diungkapkan Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Mishbah (2002: Juz 8, 135), bahwa maksud rahmatan lil ‘alamin bukanlah rahmat hanya bagi kaum muslimin—sebagaimana dipahami golongan Mu’tazilah—tetapi ia diperuntukkan bagi seluruh umat, muslim maupun kafir dan bahkan kepada seluruh makhluk ciptaan Allah. Jadi, keselamatan, kesejahteraan dan keutuhan ekosistem tempat hidup kita adalah bukti keimanan yang ada di dalam dada kita. Jika rusak, itu pertanda ada amalan kita yang belum sempurna dalam mengaplikasikan ajaran Allah swt.

Mengingat dampak global warming yang sangat luas bagi kehidupan makhluk hidup yang ada di bumi, sehingga tanggung jawab akan rehabilitasi lingkungan bukan hanya menjadi tanggungan pemerintah semata, tetapi menjadi tanggungjawab kita semua. Kampanye anti global warming yang telah banyak dilaksanakan pemerintah dan berbagai organisasi massa—hingga dikenal slogan “Let’s Go Green”, rupanya belum sepenuhnya dapat menyadarkan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab.

Melalui konsep rahmatan lil ‘alamin, kita dapat memperbarui metode kampanye dengan pendekatan kesadaran pelestarian lingkungan melalui eksplorasi ajaran agama.  Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas perlindungan lingkungan, juga mampu memperkaya konsep-konsep hukum tentang kesinambungan ekologi. Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam mempengaruhi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para pemimpin dan tokoh agama dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.

Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Namun, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini.

Namun, kini para intelektual Islam telah memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandai adanya sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern. Pengembangan fikih lingkungan kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi. Upaya pengembangan fiqh al-bi’ah (fikih lingkungan) dan perumusannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik merupakan sebuah keniscayaan.

Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.

Tidak sedikit nash Al-Qur’an maupun Al-Sunnah yang membahas isu lingkungan. Pesan-pesan Al-Qur’an mengenai lingkungan sangat jelas. Mulai dari penegasan Al-Qur’an bahwa lingkungan adalah suatu sistem dan manusia harus bertanggung jawab untuk memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 19-23). Al-Qur’an juga melarang kita merusak lingkungan dan menerangkan bahwa alam adalah sumber daya yang harus dikembangkan, bukan dirusak. (QS. Al-A’raf: 56, Al-Rum: 41).

Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban, yakni konsep khalifah sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang bermakna responsibility. Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama syariah.

E. Khatimah

Sebagai sebuah sistem, lingkungan terdiri atas dua unsur yang bekerja secara totalitas sebagai suatu kesatuan. Kedua unsur itu adalah unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan lainnya). Semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang ada di dalamnya, termasuk manusia, adalah satu kesatuan yang bekerja mengikuti hukum-hukum yang telah Allah tentukan kadar ukurannya. Dan, manusia menjadi faktor penentu capaian tingkat kesejahteraan makhluk lain di sekitarnya. Atau dengan kata lain, ekosistem sebagai tatanan kehidupan keberlangsungannya sangat ditentukan oleh perilaku manusia.

Keterlibatan umat Islam dalam kampanye pencegahan global warming bukan merupakan sesuatu yang aneh, asing atau terkesan dipaksakan. Tetapi merupakan sesuatu yang sangat realistis, perlu dan sudah semestinya. Sehingga menjadi penting untuk melibatkan peranan ulama dan tokoh agama dalam mengkampanyekan isu internasional tentang perubahan iklim ini. Disamping itu juga, penting untuk mengeksplorasi tafsir dan fikih yang berkaitan dengan lingkungan secara optimal. Melalui eksplorasi tafsir dan fikih lingkungan secara optimal dapat menguatkan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern. Sungguh menarik apa yang dikatakan seorang juru dakwah abad ke-14 hijriah. Hasan Al-Banna menulis:

Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala fenomena kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi, atau rahmat dan keadilan. Ia adalah pengetahuan dan undang-undang, atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang syah. (Hasan Al-Banna, 1985:15).

Wallahu a’lam bi al-shawwab.

SENARAI  RUJUKAN

Baiquni, Achmad.  Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

Banna, Muhammad Hassan. Risalah Al-Ta’lim, Mesir: Maktabah Al-Baabi Al-Halabi, 1985.

Hanbal, Ahmad ibn. Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 17, Al-Maktab Al-Islami, 1985.

Kompas, 18 Januari 2001.

Mitchell, Bruce. dkk. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.

Purwanto, Awas Banjir, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008.

————, Awas Polusi, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008.

Quthub, Sayyid. Fi Dzilal Al-Qur’an, Terj. Juz 8, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Rahawarin, Sayuti. Kiamat Tinggal Menghitung Hari, Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2006.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Juz 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sijistani, Abu Daud Sulaiman ibn Al-Asy’ats Al-. Sunan Abi Dawud, Juz 9, Beirut: Maktabh Al-‘Ashriyah, tth.

http://www.wikipedia.com

This entry was posted in Hadis, Pemikiran, Tafsir and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment