Menatap Ateisme dalam Cermin Monoteisme


Manusia adalah makhluk berketuhanan. Ia adalah makhluk yang menurut alam hakikatnya sendiri, sejak masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan. Inilah fitrah atau kejadian asal sucinya dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari dan menemukan Tuhan. Agama menyebutnya sebagai kecenderungan yang hanif (al-hanifiyah al-samhah), yaitu sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni — atau istilah Cak Nur “semangat mencari kebenaran yang lapang, tolerir, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa”.

Dalam pandangan Islam diungkapkan cara penyembahan kepada Tuhan yang benar:

“Penyembahan kita kepada Tuhan haruslah berarti pencarian kebenaran secara tulus dan murni tanpa belenggu dan pembatasan yang kita ciptakan sendiri, sadar atau tidak. Dan karena masing-masing dari kita mempunyai potensi untuk terbelenggu oleh kepercayaan palsu serupa itu, yaitu akibat pengaruh budaya sekeliling kita, maka … kita senantiasa harus berusaha membebaskan diri dari belenggu itu dengan menyatakan “Laa ilaaha …” (“tidak ada sesuatu tuhan apapun …”), kemudian kita harus tetap pada jalan pencarian kebenaran yang tulus dengan mengucap “illallaah” (“kecuali Allah”, yaitu Tuhan yang sebenarnya, yang lepas dari representasi, visualisasi dan gambaran kita sendiri, yang tidak mungkin diketahui manusia namun kita dapat dan harus senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri–taqarrub–kepada-Nya, untuk memperoleh perkenan atau ridha-Nya).

Ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah imajinasi manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itulah kaum ateis menolak soal-soal keruhanian dan berbagai penjelasan mengenai adanya kehidupan sesudah hidup sekarang ini–yang diantarai oleh kematian. Manusia yang seperti itu dikritik oleh Al-Qur’an dalam QS. 45: 23-24.

Dalam sistem ajaran komunisme, ateisme merupakan suatu bentuk ateisme-filosofis. Ia merupakan bagian dari suatu sistem ajaran komunisme yang menyeluruh: di satu pihak ateisme menjadi dasar pandangan hidup komunis, dan di pihak lain ateisme adalah konsekuensi logis dari pandangan hidup komunis itu. Ateisme menjadi sebuah filsafat, tetapi anehnya, sekaligus menjadi agama–paling tidak secara praktisnya. Menarik membaca penggambaran jurnalistik Cak Nur berikut:

Apakah manusia bisa menjadi ateis, tidak percaya sama sekali akan adanya Yang Maha Kuasa? Pertanyaan yang barangkali terasa berlebihan, karena kita telah terbiasa berpikir bahwa ateisme terdapat di banyak sekali kalangan manusia, khususnya kalangan komunis. Bagi kita, kaum komunis adalah dengan sendirinya ateis, tak ayal lagi.
Tapi cobalah kita renungkan fakta ini: di pinggiran Kota Pyongyang, Korea Utara, di atas sebuah bukit, berdiri tegak patung raksasa Kim Il Sung. Patung itu dibuat begitu rupa, sehingga seolah-olah tangan Kim hendak menggapai langit, atau bersikap seperti mau “memberkati” ibukota Korea Utara. Salah satu pemandangan harian ialah rombongan demi rombongan anak-anak sekolah Korea Utara datang “menziarahi” patung itu, kemudian secara bersama membaca dengan “khusyuk” kalimat-kalimat pujian kepada Kim Il Sung. Bahkan konon, di negeri yang agaknya produksi pangannya kurang menggembirakan itu, patung Kim dengan tangannya yang menjarah langit itu, dipercayai mampu mengubah pelangi menjadi beras!
Gejala apakah semua itu? Tidak lain ialah gejala keagamaan. Atau, dalam ungkapan yang lebih meliputi, gejala pemujaan (devotion). … Dan gejala pemujaan pemimpin, tidak hanya khas Korea Utara. Pemandangan harian di lapangan Merah Moskow, Uni Soviet (dulu, era komunisme, BMR), misalnya, ialah deretan panjang orang antre untuk berziarah ke mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas bersifat devotional seakan meminta berkah kepada sang pemimpin yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu. …
Melihat itu semua, kesimpulan yang boleh dikatakan pasti ialah bahwa orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil menjadi benar-benar ateis. Kalau ateis tidak memeluk agama formal yang ada seperti Yahudi, Kristen, Islam, Budhisme, Konfusianisme, dan lain-lain, maka barangkali memang benar orang-orang komunis itu ateis. Tapi kalau ateis berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang-orang komunis adalah sekelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional. Mereka memang tidak akan mengakui bahwa mereka memandang para pemimpin mereka sebagai “tuhan-tuhan”. Tapi sikap mereka jelas menunjukkan hal itu. Sebenarnya mereka telah terjerembap ke dalam lembah politeisme yang justru sangat membelenggu dan merampas kebebasan mereka.

Cak Nur menganggap fenomena kehidupan masyarakat komunis itu adalah suatu ateisme “konfesional”, yaitu ateisme melalui pengakuan dan persaksian–misalnya melalui upacara janji setia, semacam baiat atau pembacaan syahadat pada gerakan komunis. Fenomena ateisme konfesional ini menjadikan paham ateisme (dalam komunisme) berkembang menjadi padanan fungsional agama. Artinya, ateisme tumbuh dengan fungsi-fungsi yang sama dengan agama, malah lebih dari itu menjadi agama politeis, lengkap dengan kelembagaan-kelembagaannya seperti objek kesucian, ritus-ritus dan sakramen-sakramennya.

Dalam pandangan Cak Nur, adalah logis kalau Islam memandang ateisme itu, pada hakikatnya adalah bentuk lain dari politeisme. Kaum ateis atau dahriyuun–dalam istilah Al-Qur’an–adalah orang-orang yang mengangkat hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai tuhan. Lebih jauh menurutnya, ateisme adalah proses menuju kepada monoteisme. Dalam struktur akidah Islam, ini dalam konsep pertama dari “negasi-afirmasi” atau “al-nafy wa al-itsbat” dalam kalimat persaksian (syahadat) pertama Islam. Yaitu, dalam istilah Cak Nur, “menunjukkan kemustahilan seseorang mencapai iman yang benar kecuali jika ia telah melewati proses pembebasan dirinya dari kepercayaan-kepercayaan yang ada”.

Walaupun manusia tidak mungkin bisa membuat penggambaran tentang Tuhan, menurut Cak Nur, naluri primordial manusia ialah percaya kepada Tuhan. Namun, karena naluri tersebut dapat tidak terbimbing dengan benar, maka naluri itu pun bisa berkembang secara liar dan tersalurkan ke arah kepercayaan kepada Tuhan yang berlebihan, yaitu politeisme atau syirik. Padahal politeisme atau syirik adalah mitologi yang membelenggu kebebasan manusia, sehingga ia tidak lagi mampu melihat sekelilingnya secara benar sesuai dengan desain Tuhan atau sunnatullah.

Kesimpulan yang paling penting dalam pandangan Cak Nur mengenai ateisme ini adalah bahwa persoalan ateisme adalah persoalan kecongkakan manusia yang hendak mengandalkan dirinya sendiri–dalam hal ini akal dan ilmu pengetahuan–untuk “memahami” Tuhan. Dari sudut pandang Islam, menurutnya, percobaan untuk “memahami Tuhan” itu pasti gagal dan wajar sekali jika mereka berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Kegagalan itu bermula dari keterbatasan akal manusia, khususnya akal modern yang hampir a priori membatasi diri hanya kepada hal-hal empiris secara materialistik.

————

Disarikan dari buku “Membaca Nurcholish Madjid” karangan Budhy Munawar-Rachman

This entry was posted in filsafat, Pemikiran, Penelitian, Resensi Buku and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment