Sesungguhnya ada hubungan yang kuat antara pelaksanaan shalat idul adha, penyembelihan qurban, dengan eksistensi kita bahkan masa depan kita sebagai umat beriman.
Surat Al Kautsar sungguh memberi kabar gembira kepada umat akhir zaman. Betapa Allah SWT yang Maha Rahman telah memuliakan junjunan alam Muhammad saw dengan pelbagai karunia ”al kautsar”. Yaitu: al khairul katsir (kebaikan yang banyak), al Islam, al Quran, katsratu al ummah, al itsar, dan ”rif’atul dzikri” di dunia ini kemudian telaga al Kautsar di akhirat kelak. Itu semua sudah Allah karuniakan kepada nabi kita Muhammad saw. Sedang bagi kita selaku ummat beliau, semua itu merupakan ”busyra” kabar gembira, bahwa jika kita memenuhi syaratNya maka semua karunia itu pun disediakan bagi kita. Syaratnya hanya dua saja, yaitu menunaikan shalat karena ”tha’atan wa taqarruban”, dan menyembelih binatang nahar karena ”syukran” atas nikmat Allah yang tak terhitung satuan maupun jumlahnya. Dengan memperbanyak shalat yang juga bermakna do’a dan banyak berkorban (tadlhiyah), nikmat dan karunia dari Allah tidak akan pernah berkurang bagi yang melaksanakannya. Justeru dengan jalan itu, karunia Ilahi akan terus ditambahkan sepanjang jalan shalat dan pengorbanan. Jalan yang memastikan masa depan yang menjanjikan kebaikan, kemajuan dan kebahagiaan.
Al kautsar yang berarti “al khairul katsir” (kebaikan yang banyak) mempunyai 16 makna yang meliputi segala kebaikan dan karunia, yaitu: al Quran, kenabian, al Islam, kemudahan membaca/mempelajari al Quran, ummat yang besar, sebutan yang tinggi, empati dan solidaritas, cahaya dalam kalbu, mu’jizat yang kekal, kalimah tauhid, shalat lima waktu, kefahaman tetang agama, syafa’at yang agung, sungai di syurga dan telaga kautsar. Ke 16 kautsar ini hanya dikaruniakan kepada Nabi akhir zaman beserta ummatnya. Ditambah lagi dengan nikmat dan karunia ilahi lainnya yang tak seorangpun mampu menghitungnya.
Betapa mahalnya nikmat kesehatan, betapa besarnya nikmat punya keluarga yang tenteram-harmonis; betapa besar nikmat mempunyai ladang penghasilan yang cukup bahkan lebih dari cukup, sementara jutaan saudara kita kehilangan lapangan pekerjaannya. Bahkan begitu banyak anak bangsa yang menderita kekurangan gizi. Tapi yang lebih dari itu semua adalah betapa agungnya nikmat iman dan Islam, dan betapa berharganya nikmat “taufiq” sehingga hati kita condong dan mau untuk berbuat baik untuk memajukan agama dan kehidupan kita, membagi kebaikan kepada sesama sebagi wujud pengorbanan.
Dikaitkannya perintah shalat dengan perintah kurban pasti membawa pesan tertentu. Di antaranya bahwa kualitas shalat seseorang berpengaruh dan berbanding lurus dengan kualitas pengorbanannya. Shalat yang utama adalah shalat karena syukur. Dan orang yang bersyukur dengan berbagai nikmat Allah merasa senang untuk berkurban. Apalagi jika dilandasi keyakinan bahwa pengorbanan adalah cara untuk melestarikan nikmat Allah SWT dan mengundang keberkahan di dalamnya. Sedang orang yang tidak senang dengan ajaran pengorbanan justru merekalah yang terputus kebaikannya. “INNA SYANIAKA HUWAL ABTAR”.
Ruhul badzli wal tadlhiyah (semangat berkorban) yang ditanamkan dengan kokoh dalam dada manusia muslim akan mengikis kecenderungan “ananiyah” keakuan yang egoistik, selfish dan egosentris. Keakuan yang kurang memberi tempat bagi “kekitaan” dan cenderung mengeleminasi posisi dan “arti” orang lain. Keakuan yang tidak bersedia untuk melakukan kompromi dalam “kekitaan” dan dengan “orang lain”, kecuali jika ada jaminan “aku yang lebih dahulu” baru kemudian orang lain, dan kecuali jika “kita’ itu artinya orang lain mengikuti apa maunya “aku”. Artinya orang lain harus untuk aku, bukan aku untuk orang lain.
Keakuan yang diberi makna serta ditumbuhkembangkan dalam kesempitan makna seperti itu akan menanamkan keinginan untuk meredusir dan mengeksploitasi apa saja dan siapa saja untuk hawa nafsu dan keserakahan dirinya. Nafsu berkuasa, nafsu berpengaruh, nafsu menumpuk harta benda, serta nafsu-nafsu lain yang pragmatis dan hedonis. Rasulullah saw memperingatkan ummatnya terhadap bahaya “ananiyah” akuisme dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok sendiri.
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
“Hati-hati dan jauhi kebakhilan yang telah menghancurkan umat sebelum kamu. Kekikiran telah mendorong mereka untuk memutuskan silaturahim dan mendorong mereka untuk berbuat jahat” (Riwayat Abu Dawud dan Al Hakim)
Egoisme bermula dari ketidak pedulian terhadap sesama, kemudian demi untuk memenangkan diri atau paling banter kolega chemistrinya maka orang menjadi tidak ragu untuk melakukan kedustaan yang tentu saja merugikan/menzhalimi orang lain. Berikutnya orang akan menutupi kebohongan pertama dengan kebohongan-kebohongan berikutnya secara berlapis-lapis. Krisis kejujuran ini menemukan sinergisitasnya dengan meluasnya egoisme di kalangan masyarakat. Egoisme yang kian parah, sanggup melupakan jasa seorang isteri yang berbilang tahun telah memberikan kesetiaannya secara ikhlas, begitu pun sebaliknya. Prahaha rumah tangga hanya buah dari keakuan yang diperturutkan oleh seorang suami atau isteri. Gara-gara egoisme sektoral maka sinergi antar lembaga sosial atau pemerintah akan berantakan, perundingan akan dead lock, yang menjadi konsen masing-masing pihak adalah mencai titik lemah dan melemahkan pihak yang lain.
Egoisme personal atau sektoral jika dikembangkan akan mengemuka dalam tiga sikap yang destruktif, sebagaimana disebutkan dalam Atsar Umar bin Khatthab. Yaitu: ”syukhkhun mutha’un” sikap pelit yang menggerus rasa empati terhadap sesama; ”hawan muttaba’un” yakni hawa nafsu selera rendah yang diikuti sehingga makin jauh dari idealisme bahkan kewajaran sekalipun; dan ketiga ”dunyan mu’tsaratun” yaitu kepentingan duniawi yang terus dikejar. Dalam konteks itu semua bukan lagi nilai yang menjadi acuan atau norma yang jadi rujukan, melainkan ”i’jabu dzirra’yi bira’yihi” kepongahan orang dalam mempertahankan/membela pendapatnya sendiri. Konsultasi diabaikan dan musyawarah dilecehkan dengan teknik-teknik manipulatif.
Masyarakat dan bangsa kita tengah menglami krisis yang lebih besar dari krisis ekonomi, yaitu krisis komunikasi sosial atau dalam bahasa agamanya krisis hablun minannas yang cukup parah. Itu akibat wabah egoisme dan kebakhilan yang telah memangsa banyak kalangan. Sosok egoistik serta angkuh terlihat pada tingkah laku koruptor yang tak peduli dengan kerugian orang banyak asalkan dirinya mengeruk uang banyak. Karena egoisme para sindikat narkoba dalam meraup uang, beitu banyak para pemuda harapan umat dan bangsa yang dihancurkan masa depannya. Begitu pula dengan para penimbun yang membebani serta membuat susah sejumlah besar para konsumen karena hanya memikirkan dirinya dan penghasilannya. Karena egoisme lalu fatatisme jahiliyah dengan mudah dua kelompok remaja, pelajar bahkan mahasiswa dan penduduk kampung saling menyerang, melukai, membakar bahkan membunuh, karena soal yang remeh temeh.
Dan manakala keakuan serta keangkuhan menjelma dalam sosok rezim yang berkuasa di suatu negara maka petaka yang diakibatkannya tak terperikan. Abad dimana kita hidup dan menjadi saksi sejarah mempertontonkan potret destruksi perdaban suatu bangsa oleh rezim dari bangsa lain. Dunia tak mungkin menutup mata terhadap kebiadaban yang masih berlangsung, bagaimana Amerika punya prestasi menghancurkan sisa-sisa peradaban Baghdad dengan dua kota ilmunya Kufah dan Bashrah. Egoisme AS telah memaksakan defenisinya sendiri mengenai apa itu terorisme, padahal merekalah yang “the real terroris and agresor”. Sebagaimana telah memaksakan kesimpulan penelitian atau inspeksi mengenai senjata pemusnah, yang belakangan diakuinya sendiri bahwa hal itu tidak pernah ada. Demikian juga tentang isu nuklir Iran yang lagi-lagi dibantah oleh mereka sendiri.
Mari kita lihat sederet fakta yang dicatat dalam Al Quran dan lembaran sejarah bahwa kemenangan serta keberkahan hidup adalah buah dari pengorbanan terhadap keakuan atau egoisme diri disaat orang-orang di sekitarnya mengagungkan sifat tersebut.
Pengorbanan ibunda Nabiyullah Musa a.s ketika harus melepaskan putra kesayangannya ke arus sungai nil, demi memilih janji Allah daripada memperturutkan keinginan perasaannya untuk mendekap erat-erat sang bayi yang ia sayangi. Dengan pengorbanannya yang tulus itu maka endingnya adalah:
“Sesungguhnya Kami kembalikan Musa kepadamu dan kami mengangkatnya menjadi salah seorang Rasul” (QS. Al-Qashash: 7).
Kekuatan iman serta keikhlasan Nabiyullah Ibrahim a.s saat mengorbankan putra kesayangannya Ismail a.s untuk disembelih dengan tangannya sendiri telah mengantarkan beliau untuk menerima surat pengangkatan dari Allah sebagai imam bagi para shalihin.
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia…”. (QS. Al-Baqarah: 124).
Dan kemudian hari pengorbanannya itu dikekalkan dalam hari raya ‘Idul Adha dan penyembelihan binatang kurban selam empat hari, tgl 10 s/d 13 Dzulhijjah. Ibadah yang membawa keberkahan secara ekonomi terutama bagi fakir miskin.
Kemenangan Luth bersama tentaranya yang tinggal sedikit akibat terjadi desersi yang dashyat, dicatat Al Quran sebagai buah pengorbanan ‘fiah qalilah’ unit kecil dari tentara Luth. Mereka berhasil melakukan tadlhiyan ma’nawiyah, suatu pengorbanan moril yang besar, mengalahkan nafsu minuman dalam keadaan sangat haus dan kehabisan air. Demi ketaatan terhadap pemimpin dan memelihara disiplin tentara mereka tidak tidak minum atau hanya minum setangkup tangan ketika menemukan sungai yang kebeningan dan kesejukan airnya sangat menggoda. Maka mereka mampu mengalahkan tentara Jalut yang jauh lebih banyak, tangguh serta perkasa dengan izin Allah. Dawud pun berhasil membunuh Jalut lalu dikaruniai Allah kekuasaan yang membawa kesejahteraan bagi kaumnya.
Bagi insan pejuang, adalah pantang untuk merugikan orang lain, perorangan, apalagi masyarakat luas. Jika dirinya belum mampu memberi (berkontribusi), minimal tidak merusak yang telah ada atau mengganggu. Pribadi pejuang memiliki sense of accuntability yang kuat. Di dunia ia berusaha agar tidak dihisab oleh sejarah. Hari kematiannya terus dipersiapkan agar tidak seorangpun kelak menggugatnya karena hak-haknya dirampas. Baik hak yang menyangkut jiwa, harta, kehormatan, dan nama baik. Bagi pejuang, kematian hanyalah peristiwa yang memisahkan seseorang dengan syurga atau neraka.
Tapi yang paling berat adalah menyelesaikan akuntabilitas di hadapan Allah SWT, disaat para pihak yang dizhalimi menuntut keadilan terhadap para pelaku kezhaliman. Setiap kita harus menjaga tangan dan seluruh anggota tubuhnya supaya menjadi alat kebajikan bukan alat kejahatan. Tangan hanya boleh digerakkan/diulurkan untuk meminta maaf, untuk memberi kepada sesama dan untuk memohon kepada ilahi.
Mari kita sadari betapa Allah telah memberi kita dengan karuniaNya yang banyak. Sebagai makhluk yang tahu berterima kasih, marilah kita mendekat kepada Allah . Jangan pernah tinggalkan shalat, perbanyak shalat sunat dan syukur nikmat. Mari belajar berempati kepada sesama dengan sebentuk tadlhiyah (pengorbanan), moral dan/atau material. Mari syi’arkan ’idul qurban ini dengan menyaksikan, membantu atau juga menyembelih seekor hewan kurban, demi memenuhi seruan Allah, meneladani Rasulullah, memperingati pengorbanan kekasih Allah Nabi Ibrahim & Ismail ’alaihimassalam, dan untuk belajar berempati terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu.
Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergensi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gengsi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.
———
Disarikan dari Khutbah Idul Adha tahun 1430 H di Masjid At-Taufiq Penggung Utara Cirebon yang disampaikan oleh Miftahul Khaer, S.Th.I
syukron kang,,,,,,,,,