MEMAHAMI PUASA BERSAMA FERDINAND DE SAUSSURE


Puasa yang merupakan salah satu rukun Islam yang lima diwajibkan kepada seluruh umat Islam yang beriman dalam satu bulan yang sangat istimewa, bulan Ramadhan, dan sangat dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan-bulan yang lain. Adanya puasa, disamping merupakan bentuk pengabdian pada Tuhan, juga tidak lain karena bertujuan melatih manusia agar dapat menahan dirinya dari segala macam bentuk keserakahan dan kerakusan terhadap segala hal yang bersifat duniawi, dan melatih kepekaan manusia terhadap bumi, alam dan masyarakat sekitarnya sekaligus sebagai sarana pembersihan dan penjagaan fitrah manusia yang akhirnya akan membentuk pribadi insan kamil dan bertakwa pada Allah swt.

Pandangan Sausssure mengenai bahasa dapat kita ketahui dari buku Course de Linguistique Generale, yang diterbitkan pada tahun 1915, sesudah Saussure meninggal dunia. Buku itu diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay berdasarkan catatan kuliah murid-murid Saussure selama Saussure mengajar linguistik di Universitas Jenewa (1906 – 1911). Pandangannya ternyata banyak berpengaruh pada perkembangan linguistik di kemudian hari. Saussure sering dianggap sebagai pelopor linguistik modern.

TEORI LINGUISTIK SAUSSURE

Pandangan linguistik Saussure dapat diringkas dalam bentuk dikotomi-dikotomi, yaitu telaah diakronis dan telaah sinkronis, langue dan parole, signifiant dan signifie, dan hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.

Signifiant dan Sinnifie

Tanda bahasa menyatukan atau menghubungkan suatu konsep dengan citra bunyi. Yang dimaksud dengan citra bunyi adalah kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Citra bunyi inilah yang disebut dengan signifiant. Yang dimkasud dengan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Signifiant dan signifie berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Keduanya merupakan suatu kesatuan psikologis yang berdwimuka.

Kata puasa merupakan citra bunyi yang disebut denan signifiant. Adapun depinisi tentang puasa yang berarti ‘menahan dari segala sesuatu’,  seperti manahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan lain sebagainya. Sedangkan menurut istilah agama yaitu ‘menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat. Ini yang kemudian disebut dengan signifie. Baik signifiant maupun signifie dalam konsep saussure keduanya juga bersifat arbitrer. Oleh karenanya pengertian puasa di atas bersifat konvensional.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:

  1. Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa atau tanda (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer.
  2. Signifiant bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk suatu rangkaian unsur     yang satu mengikuti unsur yang lain.

Telaah Diakronis dan Telaah Sinkronis

Saussure membedakan telaah bahasa secara diakronis dari telaah bahasa secara sinkronis. Yang pertama mempelajari bahasa dari waktu ke waktu, sedang yang kedua mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu saja. Barangkali bagi kita sekarang perbedaan tersebut merupakan hal yang biasa. Tidaklah demikian halnya pada waktu itu. Sebelum Saussure, bahasa selalu ditelaah secara diakronis semata-semata. Ahli-ahli bahasa waktu itu belum sadar bahwa bahasa dapat dipelajari secara sinkronis. Di sinilah pentingnya pandangan Saussure bahwa, di samping secara diakronis, bahasa dapat juga dipelajari secara sinkronis. Kita sekarang dapat memberikan pemerian tentang suatu bahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa itu.

Dalam hal ini kata puasa bukan berarti hak paten milik tradisi Agama Muhammad saw. (Islam), tetapi kata puasa sudah di ketahui sebelumya, inilah yang disebut telaah diakronik, yaitu mempelajari bahasa dari waktu ke waktu. Akan tetapi pengertian puasa di dalam Islam mempunyai kekhususan tersendiri dan oleh karenanya tidak bisa dipahami secara general atau bebas yang kemudian di sebut dengan telaah sinkronik, yaitu mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu saja. Dengan demikian untuk memperoleh pengertian yang valid tentang puasa-khususnya bagi umat Islam-mau gak mau harus didepinisikan sesuai dengan konteks dan pengertian yang telah disepakati bersama (konvensional).

Langue dan Parole

Pembedaan lain yang dilakukan oleh Saussure adalah pembedaan antara langue dan parole. Yang pertama adalah keseluruhan sistem tanda (signe) yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara para anggota suatu masyarakat bahasa: sifatnya abstrak. Yang kedua adalah pemakaian langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya kongkret karena parole tidak lain merupakan realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu ke orang yang lain. Obyek linguistik tidak lain adalah langue, sedangkan untuk mengkaji langue kita tidak melakukannya melalui parole.

Berdasarkan analisis ini (langue dan paroel), maka puasa secara paroel adalah sesuai dengan apa yang tertera di dalam kamus. Puasa dalam arti yang umu yaitu menahan dari sesuatu. Apapun bentuknya yang semakna dengan menahan, seperti menahan lapar, walaupun hanya beberapa jam maka sudah bisa disebut dengan puasa. Sedangkan kalau dipahami secara langue, maka puasa adalah ‘menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat (Islam). Dan ini tentunya akan berbeda dengan depinisi puasa menurut depini agama selain Islam.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, puasa (shaum) artinya menahan diri, yakni menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, satu hari lamanya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كُرَيْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَاتَّفَقُوا فِي اللَّفْظِ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ و قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي و قَالَ أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ جَمِيعًا عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ — رواه البخاري ومسلم

Dari Umar ra. berkata: “Saya telah mendengar Nabi saw. bersabda: “apanila malam datang dan siang lenyap, matahari telah terbenam, maka sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Puasa ada empat macam, yaitu:

  1. Puasa wajib, yaitu puasa bulan Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nazar.
  2. Puasa sunat.
  3. Puasa makruh.
  4. Puasa haram, yatu puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, tiga hari setelah hari raya Idul Adha (hari Tasyriq), yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang lima, diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun sesudah Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah. Hukumnya fardhu ‘ain atas setiap orang mukallaf (baligh dan berakal). Rasulullah saw. Telah mengerjakan puasa 9 kali Ramadhan , 8 kali 29 hari dan 1 kali genap 30 hari.

Dari beberapa tipologi puasa di atas, kita dapat mengetahui mana puasa yang wajib dan mana puasa yang tidak wajib. Dikotomi seperti ini bagi Saussure adalah penting. Menurutnya, kita bisa mengetahui atau memahami warna putih, karena di oposisikannya dengan warna hitam. Inilah yang disebut dengan konsep oposisi binner. Jadi kita bisa tahu puasa wajib karena adanya puasa sunnah, makruh, dan haram.

This entry was posted in mistis, Pemikiran, Tafsir and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment