Membangun Fondasi Ekonomi Umat


Sering orang bilang bahwa kerusuhan dan kekerasan yang terjadi selama ini salah satunya disebabkan adanya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial dapat diartikan sebagai pemisah (gap) yang makin runcing antara si miskin dan si kaya.

Mengapa ada orang kaya dan miskin? Berbagai jawaban pun banyak dikemukakan. Ada yang menjawab, kaya dan miskin itu sudah suratan takdir; Orang miskin karena malas, yang kaya karena rajin bekerja; Miskin karena ketiadaan lapangan pekerjaan yang membuat orang hidup menjadi susah; Hebatnya lagi, ada yang bilang bahwa kemiskinan itu terjadi karena keserakahan orang kaya yang tidak memberikan kesempatan pada si miskin. Benarkah demikian? Jawaban di atas tentu bisa saja benar atau pun salah. Artinya, banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi miskin atau kaya.

Pertanyaannya, mengapa mayoritas umat Islam miskin, khususnya masyarakat Indonesia?

Tentu bukan hanya karena mayoritas mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Yang pasti, selain setiap pribadi yang harus berusaha, tentunya harus ada campur tangan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, lebih dari 35 juta, sekitar 17 persen, penduduk Indonesia tergolong miskin atau berpenghasilan kecil. Artinya, negara turut berperan besar dalam membantu masyarakatnya agar menjadi lebih berdaya. Di antaranya, dengan bantuan dan dukungan modal dari lembaga keuangan yang ada.

Bila merujuk pada awal kehadiran Islam, sistem perdagangan (ekonomi) dikembangkan dengan prinsip keadilan, kejujuran dan keterbukaan (transparan). Tidak saja untuk kepentingan negara, tetapi ekonomi yang dikembangkan juga dimaksudkan untuk membantu masyarakatnya agar lebih mampu dan berdaya.

Ketika khalifah Umar ibn Khattab RA membentuk lembaga keuangan Islam yang bernama baitul maal, sistem perekonomian Islam berjalan dengan baik. Puncak kejayaannya terjadi pada masa ke-Khalifah-an Bani Umayyah.

Pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, fungsi baitul maal tak sekedar untuk menyalurkan dana tunjangan, melainkan juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan saran dan prasarana umum. Bahkan, baitul maal juga dipakai untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Dan disinilah gelombang intelektual Islam dimulai.

Lembaga Keuangan Syari’ah

Di Indonesia, kehadiran lembaga keuangan Islam dimulai dengan dibentuknya Baitul Maal wat Tamwil (BMT) pada tahun 1980-an yang kini berkembang hingga perbankan syari’ah.

Fungsi BMT menggabungkan dua konsep keuangan, yaitu perhimpunan dana (Baitul Maal) dan pendistribusian atau pembiayaan (Baitut Tamwil).  Baitul Maal merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya menerima dan menyalurkan dana umat Islam yang bersifat non-komersial. Sumber dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, sumbangan dan lain sebagainya. Penyalurannya dialokasikan kepada yang berhak (mustahiq), seperti fakir, miskin, muallaf, orang yang berjuang di jalan Allah, ghorimin (berutang), ibnu sabil, hamba sahaya dan amil.

Sedangkan Baitut Tamwil adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana pihak ketiga (deposan) dan memberikan pembiayaan-pembiayaan kepada usaha-usaha yang poduktif dan menguntungkan. Sumber dana Baitut Tamwil berasal dari biaya simpanan (tabungan), deposito, saham dan lain sebagainya. Dan alokasi dananya kepada pembiayaan-pembiayaan dan investasi.

Dengan menggabungkan dua konsep ini, sebagian keuntungan Baitut Tamwil, baik dari lembaga maupun anggota yang sudah nisab, mengalir ke kas Baitul Maal. Sedangkan kelebihan dana di Baitul Maal dapat disimpan di Baitut Tamwil. Hal ini jelas akan memperbesar aset Baitut Tamwil sekaligus memperkuat likuiditasnya.

Kemudian pada tahun 1990-an, berdirilah lembaga keuangan Islam yang lebih modern di Indonesia melalui pendirian bank syari’ah, yaitu Bank Mua’amalat Indonesia (BMI). Dan hingga tahun 2009 ini, jumlah bank syari’ah mencapai 30 buah dengan kantor cabang yang mencapai ribuan. Begitu juga dengan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS), asuransi syari’ah, hotel syari’ah, swalayan syari’ah dan lain sebagainya.

Ciri khas lembaga keuangan Islam ini adalah sistem operasionalnya yang didasarkan pada syari’at Islam (al-Qur’an dan al-Hadits). Sehingga praktiknya harus bersih dari sistem bunga (riba), judi (maysir), dan gharar, serta bersih dari usaha-usaha haram.

Dengan sistem yang bersih dari MAGHRIB (maysir, gharar, dan riba) ini, keuangan syari’ah mampu melewati jurang terjal yang bernama krisis keuangan global. Ketika jumlah lembaga keuangan konvensional kolaps, industri keuangan syari’ah tetap menjulang tinggi tanpa mengalami negative spread.

Ekonomi Umat

Kokohnya ekonomi syari’ah harusnya menjadi jawaban atas berbagai persoalan krisis keuangan yang terjadi belakangan ini. Jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini merupakan potensi besar dalam memberdayakan ekonomi umat.

Lalu, mengapa hal ini belum dilakukan?

Jawabannya tentu ada pada setiap pribadi Muslim. Selain itu, perlunya dukungan dan dorongan dari pemerintah serta regulator untuk berkembangnya industri keuangan syari’ah.

Ahmad Riawan Amin, Direktur Utama Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), dalam bukunya yang berjudul Satanic Finance menyatakan, ada tiga hal yang menyebabkan rapuhnya ekonomi nasional akibat terlalu bergantungnya pada sistem kapitalis, yaitu fiat money, fractional reserve requirement, dan interest. Tiga pilar tersebut yang menjadikan sistem ekonomi sebuah bangsa gonjang-gonjing. Dan, korban demi korban pun berjatuhan. Banyak industri yang akhirnya kolaps, ribuan karyawan di PHK, dan akhirnya menambah jumlah orang miskin dan pengangguran.

Kini, dunia global mulai melirik sistem ekonomi syari’ah. Sistem ini dianggap sebagai satu-satunya sistem keuangan yang mampu mengatasi berbagai persoalan krisis finansial.

Lalu, mengapa kita hanya berdiam diri dan tak mau memulainya?!

Masihkah kita mempertahankan sistem ekonomi yang jelas-jelas sudah membuat kita terperosok dan makin membuat rakyat makin susah?!

————-

Diambil dari media masa Republika edisi Ahad 8 Februari 2009; hal. B1

This entry was posted in Informasi, Pemikiran and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment