MENGHADIRKAN KEPRIBADIAN DAN SIFAT KETUHANAN DALAM DIRI PENDIDIK MUSLIM (Part 1)


A. Pendahuluan

Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik. Oleh sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri.

 

B. Pengertian Pendidik

Apabila merujuk pada beberapa istilah dalam konteks makna pendidikan, maka sedikitnya ada tiga istilah yang menunjuk pada makna pendidik, yaitu al-Mu’allim (المعلم ), al-Muaddib (المأدب), dan al-Murabbī (المربى).

Al-Mu’allim (isim fa’il) berasal dari akar kata ‘allama (علم). Dalam bentuk kata kerja dengan segala variasinya disebut dalam Al-Qur’ān lebih dari 40 kali, tersebar dalam beberapa surah, seperti dalam ayat berikut: al-Baqarah (2) : 31 dan ar-Rahman (55) : 2, 4.

Sebagai yang Maha Pendidik, Tuhan memiliki kelebihan ilmu—merupakan sifat—yang diajarkan kepada manusia (Nabi Adam as) selaku peserta didik, agar ia mampu mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi.

Adanya kelebihan ilmu, merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik untuk dapat menyampaikan materi pendidikan, sehingga orang lain menjadi baik. Oleh sebab itu Islam sangat menghargai, menghormati dan memuliakan orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.

Dengan demikian, pendidik merupakan pihak yang memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya. Melalui proses pendidikan, ia mentransformasi-kan ilmu yang dimiliki kepada manusia lain (peserta didik), agar dapat mengenal dirinya, penciptanya dan yang lainnya melalui kemampuan berfikir dengan ilmu yang dimiliki.

Al-Muaddib (isim fā’il), berasal dari akar kata addaba (بادّ). Di dalam Al-Qur’ān, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Kata adab diartikan sebagai al adabu yang berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab. Dinamai adaban, karena mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela. Sedang asal al adab adalah ad du’ā’ yang memiliki arti panggilan atau ajakan. Lebih lanjut kata addaba muradif (sinonim) dengan kata allama yang berarti mendidik atau mengajar, sebagaimana Allah telah mendidik NabiNya Muhammad SAW.

ادّبني ربّي فأحسن تأدبي

“Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku”.

 

Dari sini diketahui bahwa pendidik merupakan pihak yang memanggil atau mengajak, membimbing dan mengarahkan manusia (peserta didik) agar beradab atau berakhlak baik, dengan melalui aktivitas paedagogis.

Manusia beradab atau berakhlak baik inilah yang oleh Muhammad Atiyah al Abrasyi disebut sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Bahkan akhlak yang baik ini merupakan jiwa dari pendidikan Islam.

Al-Murabbī (isim fa’il), berasal dari akar kata rabba – yarubbu (يربّ – ربّ). Dalam Al-Qur’ān disebut tidak kurang dari 900 kali dalam beberapa ayat dan tersebar dalam beberapa surah, antara lain adalah: al-Fatihah (1) : 1 – 7.
Kata rabbun (ربّ), selain menunjuk pada nama Tuhan, juga memiliki arti pendidik. Syekh Ahmad Mustafa al-Maragī, menguraikan kata tersebut dengan Tuhan pendidik yang mengurus kepentingan yang dididiknya dan mengatur urusannya atau keperluannya.

Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa didikan Tuhan kepada manusia ada dua macam, yaitu:

1.        Pendidikan Penciptaan, yaitu dengan menumbuhkan tubuh atau jasmani sampai dewasa menuju kesempurnaannya serta mengembangkan kekuatan jiwa dan akalnya.

2.        Pendidikan Keagamaan, yaitu mendidik dengan menurunkan wahyu kepada seseorang (Rasul) agar disampaikan kepada yang lain untuk menyempurnakan akal dan membersihkan jiwa mereka.

Selain sebagai Tuhan bagi seluruh alam, Allah juga menjadi pemilik, pengatur, pemelihara, dan pendidik alam semesta. Para Malaikat, para Rasul, para Nabi, dan siapa yang dikehendakiNya, diciptakan sebagai penyambung risalah ilahiyah sekaligus sebagai khalifah dalam proses mendidik yang lain agar menjadi baik. Oleh sebab itu, mekanisme penciptaan dilakukan olehNya untuk mendidik makhlukNya, bahwa sesuatu itu terjadi melalui proses (pendidikan).

Al-Mua’allim, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pengajar, sebab hanya terbatas pada kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu kepada pihak lain. Pada tahap ini aktivitas paedagogis hanya menyentuh ranah kognitif. Ranah kognitif adalah kemampuan untuk mengenal, mengetahui, menganalisis, menyusun, menyimpulkan, dan merumuskan.

Al-Muaddib, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab hanya terbatas pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya adalah hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik. Aktivitas paedagogis diarahkan kepada kemampuan untuk mempertajam kepekaan rasa keindahan, kekaguman, keharuan, penghalusan sikap, budi, kecenderungan kepada yang baik dan keengganan kepada yang jahat.

Kesatuan ranah afektif dan psikomotorik belum mewakili taksonomi manusia dalam pendidikan, sebab bangun manusia dalam taksonomi pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Taksonomi itu merupakan perpaduan cipta, rasa, dan karsa. Atau dengan kata lain, pendidikan yang mengarahkan sasarannya pada kesatuan ilmu, iman, dan amal.

Sedang istilah al Murabbi, jika dilihat dari akar kata dan kandungan arti yang dimilikinya, maka tercakup di dalamnya semua aktivitas paedagogis. Aktivitas itu meliputi kegiatan menyampaikan ilmu, mentransfer nilai, mengajak, mengarahkan, membimbing, mengurus, memelihara, mengatur dan menumbuh-kembangkan potensi manusia agar menjadi baik. Ini berarti juga, bahwa aktivitas paedagogis menyentuh ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara padu dan utuh.

Pendidik di dalam Al-Qur’ān diistilahkan dengan sebutan rabbani (ربّني ), seperti dalam surah Ali Imran (3) ayat 79, sebagai berikut:

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali Imran: 79).

 

Menurut Sibawīh, kata rabbaniyyin (ربّنين) bentuk mufrad (tunggal) nya adalah rabbani (ربّني), mansub dengan kata ar-rabba (الربّ). Dimaksudkan dengan rabbani adalah mengetahui Allah dengan tetap patuh dan tunduk kepadaNya.

Diriwayatkan juga, bahwasanya Muhammad Ibn Hanafiyah berkata ketika wafat Ibnu Abbas “Telah wafat pendidik umat ini”. Sedang Muhammad Jawad al Mugniyah menyebutkan bahwa rabbani adalah orang yang memahami kitab Allah dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang lain. Selanjutnya ia menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad ‘Abduh, bahwa “Manusia hanya bisa menjadi rabbani, bilamana ia memiliki ilmu dan mengamalkannya”.

Pendidik dalam konteks ini, senantiasa mendasarkan aktivitas kependidikannya pada aturan Tuhan. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya dan beramal—mengatur, mengurus, memelihara, memiliki, memperbaiki dan menumbuhkembangkan—dengan ilmunya kepada pihak lain (peserta didik) di atas ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Di samping rabbanī, Al-Qur’ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan ulama’, seperti terdapat dalam surah Fātir (35) ayat 28, sebagai berikut:

dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS. Fathir: 28).

 

Menurut Ibnu Abbas, ulama’ adalah orang-orang yang mengetahui Allah dan tidak menyekutukanNya dengan yang lain. Menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan olehNya, yakin akan bertemu dengan Tuhannya dan senantiasa menghitung atau berhati-hati dengan amalnya.

Dengan demikian ulama’ merupakan sekelompok orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan senantiasa menghubungkan diri mereka kepada Allah. Kelebihan ilmu ini pula yang merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk mendidik orang lain.

Ulama’ adalah bentuk jamak (plural) dari kata ‘alīm yang berarti orang yang berilmu. Rasul SAW dalam hadis beliau menyebut mereka dengan sebutan “pewaris” para Nabi. Sebutan ini menimbulkan konsekwensi, bahwa para ulama’ memiliki peran sebagaimana para Nabi/Rasul dalam menyampaikan risalah Tuhan (mendidik) kepada manusia lain.

Al-Qur’ān sendiri menyebut beberapa istilah yang memiliki makna sama dengan istilah ulama, seperti ; al lazina utu al ilm, ar rasikhuna fil ilm, ulul ilm, ulul albab, yu’ta al hikmah, faqih fid din, ahl az zikr. Utul ilm disebutkan dalam Al-Qur’ān sebanyak 9 kali dan 5 diantaranya memberikan penjelasan siapa yang mendapatkan ilmu dari Allah, yaitu para malaikat, para Nabi, dan orang mukmin seperti terdapat dalam surah al Ankabut (29) ayat 47, an Nahl (16) ayat 27, al Haj (22) ayat 54, ar Rum (30) ayat 56 dan Muhammad (47) ayat 16.

Al-Qur’ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan al-Wā’id. Istilah ini merupakan bentuk isim fā’il dari akar kata wa’aza yang berarti mengajar atau menasehati. Dalam surah an-Nisā’ (4) ayat 58, disebutkan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(QS. An-Nisa: 58).

 

Selain itu, Al-Qur’ān menamakan pendidik dengan sebutan al-Muballig. Istilah ini berasal dari kata ballaga, yang berarti menyampaikan. Dalam Al-Qur’ān surah al-Maidah (5) : 67 disebutkan sebagai berikut:

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah: 67).

 

Menurut Mugniyah, dalam tafsir al-Kāsyif, bahwa dalam ayat itu terdapat perkara yang penting tentang perintah Allah kepada Muhammad untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada manusia. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban bagi Rasul untuk memiliki sifat Tablīg, yaitu menyampaikan kepada ummatnya apa-apa yang telah diajarkan oleh Tuhannya.

Syekh Ali Mahfuz, mempersamakan dakwah dengan pendidikan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:

Sesungguhnya dakwah kepada kebaikan itu adalah pendidikan, dan pendidikan yang bermanfaat itu hanyalah ada dengan amal perbuatan, karena pendidikan itu tegak berdiri atas teladan yang baik dan uswatun hasanah.

 

Sebutan lain bagi pendidik dalam Al-Qur’ān adalah al-Basyīr (pemberi kabar gembira) dan an-Nażīr (pemberi peringatan). Dua istilah ini merupakan salah satu fungsi Rasul bagi manusia. Disebutkan oleh Allah dalam sekali sebutan dalam beberapa ayat. Diantaranya dalam surah al-Baqarah (2) : 119 sebagai berikut:

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka”.

 

Mengenai ayat ini Mugniyah menyebut Rasul sebagai pendidik yang tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan seseorang itu baik dan tidak dipaksa untuk itu.24) Jadi jelas bahwa pendidik hanyalah berusaha agar orang lain (peserta didik) menjadi baik.

Oleh sebab itu, tidak ada berhak bagi seorang pendidik memaksakan kehendaknya pada peserta didiknya. Sebab paksaan hanya akan menimbulkan rasa dendam di hati peserta didiknya. Pendidikan yang didalamnya ada unsur paksaan hanya akan melahirkan pemerkosaan atau penindasan terhadap peserta didik.

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang harus ada dalam pengertian pendidik Muslim sebagai berikut:

1.        Bahwa pendidik itu tidak lain adalah merupakan pihak yang berusaha menanamkan nilai, ilmu, kecakapan kepada orang lain (peserta didik) agar menjadi baik.

2.        Bahwa usaha tu meliputi: bimbingan, mengurus, mengarahkan, mengajak, mengatur, memelihara, menumbuhkembangkan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran.

3.        Bahwa pendidik itu memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya.

4.        Bahwa pendidik itu terus menerus mengendalikan aktivitas paedagogisnya pada garis yang telah ditetapkan oleh Allah.

Dengan demikian, maka definisi pendidik adalah: pihak yang mempengaruhi orang lain (peserta didik) dengan serangkaian aktivitas yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, agar seseorang menjadi baik di atas garis yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

 

This entry was posted in makalah, Pendidikan and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment