AMAL MANUSIA DIPERLIHATKAN SETIAP HARI SENIN DAN KAMIS


Umat Islam meyakini bahwa amal perbuatan tiap-tiap manusia akan diperlihatkan dan dilaporkan kepada Allah swt. setiap minggunya pada hari Senin dan Kamis. Tidak hanya itu, amal tersebut diperlihatkan juga di hadapan para nabi dan ayah ibunya. Kenapa demikian? Karena pada kedua hari itu Allah mencurahkan rahmat-Nya dan memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya, sehingga Rasulullah saw. mengajarkan berpuasa setiap hari Senin dan Kamis supaya setidak-tidaknya seluruh perbuatan yang telah dilakukan selama satu minggu diawali dan diakhiri dengan suatu kebaikan.
Keyakinan ini bukanlah keyakinan buta tanpa dasar apapun. Rasulullah saw. telah bersabda:
حدثنا بن أبي عمر حدثنا سفيان عن مسلم بن أبي مريم عن أبي صالح سمع أبا هريرة قال ثم تعرض الأعمال في كل يوم خميس واثنين فيغفر الله عز وجل في ذلك اليوم لكل امرئ لا يشرك بالله شيئا إلا امرأ كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال اركوا هذين حتى يصطلحا اركوا هذين حتى يصطلحا ( رواه مسلم )[1]
Dari Ibn Abi Umar dari Sufyan dari Muslim ibn Abi Maryam dari Abi Shalih dari Abi Hurairah, ia berkata: “Seluruh amal diperlihatkan pada hari Kamis dan Senin maka pada hari itu Allah swt. memberikan ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali seseorang yang bertengkar antara dia dan saudaranya. Maka dikatakan kepadanya “Biarkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai, biarkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai”. (HR. Muslim).
Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hadits ini dikutip oleh Imam al Syakhawi (w. 902 H) dalam al Maqashid al Hasanah, sebuah kitab yang khusus mengkaji hadits-hadits populer di kalangan kaum Muslimin. Sayangnya, al Syakhawi hanya menyebutkan riwayat Muslim saja tanpa mencantumkan sumber lain di mana saja hadits ini berada.[2]
Ada baiknya bila kita mengkaji lebih jauh mengenai hadits ini karena sebenarnya tidak hanya Imam Muslim yang meriwayatkannya. Hadits tentang amal manusia di atas diriwayatkan juga oleh al Thabrani dalam Mu’jam al Ausath, al Tirmizi, al Nasa’i, Abu Daud, dan al Baihaqi dalam masing-masing kitab Sunan-nya dengan jalur periwayatannya masing-masing dan berbeda-beda, begitupun dengan lafaz (redaksi) nya yang berbeda tetapi mempunyai makna sama. Kita perhatikan beberapa jalur periwayatan hadits ini.
1. Imam Muslim dalam Shahih Muslim:
a. Muhammad ibn Yahya – Sufyan – Muslim ibn Abi Maryam – Abu Shalih – Abu Hurairah.
b. Abu al Thahir dan ‘Amr ibn Sawwad – Ibn Wahb – Malik ibn Anas – Muslim ibn Abi Maryam – Abu Shalih – Abu Hurairah.[3]
2. Al Tirmizi dalam Sunan al Tirmizi:[4]
Muhammad ibn Yahya – Abu ‘Ashim – Muhammad ibn Rifa’ah – Suhail – Abu Shalih – Abu Hurairah.
3. Al Bazzar dalam Musnad al Bazzar:[5]
Yusuf ibn Musa – ‘Abdul Majid ibn ‘Abdul ‘Aziz – Sufyan – ‘Abdullah ibn al Sa’ib – Zadzan – ‘Abdullah ibn Mas’ud.
4. Al Nasa’i dalam Sunan al Nasa’i dan al Thabrani dalam Mu’jam al Kabir:[6]
Yusuf ibn Musa – ‘Abdul Majid ibn ‘Abdul ‘Aziz – Sufyan dan al A’masy – ‘Abdullah ibn al Sa’ib – Zadzan – ‘Abdullah ibn Mas’ud.
Menurut al Tirmizi, hadits ini yang melalui jalur periwayatan Abu Hurairah termasuk hadits hasan gharib, yakni hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang dalam setiap tingkatannya, akan tetapi hadits ini—meskipun hasan—menjadi gharib karena terdapat Muhammad ibn Rifa’ah yang hanya memiliki seorang guru, yaitu Suhail ibn Abi Shalih, dan ia termasuk munkar al hadits. Begitu pula Abu al Thahir dan ‘Amr ibn al Sawwad dalam jalurnya Muslim yang hanya memiliki seorang guru, yaitu Ibn Wahb. Ditambah pula, Muhammad ibn Yahya yang termasuk pelupa.
Kemudian sanad (jalur periwayatan) al Bazzar, al Nasa’i dan al Thabrani. Di sana terdapat Sufyan dan al A’masy dari ‘Abdullah ibn al Sa’ib. Menurut al Albani, Sufyan dan al A’masy tidak pernah bertemu dan memiliki guru, apalagi sampai meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah ibn al Sa’ib. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa hadits ini dha’if karena terputusnya sanad pada Sufyan dan al A’masy.
Selain itu, ‘Abdul Majid ibn ‘Abdul ‘Aziz menurut sebagian ulama haditsnya dapat dipercaya. Tetapi menurut al Khalili, ia mempunyai kesalahan dalam hadits-haditsnya. Sedangkan menurut al Nasa’i, hafalannya tidak kuat. Dan Ibn Hibban mengatakan bahwa ‘Abdul Majid adalah seorang munkar al hadits. Ia sering menjadikan berita yang bukan hadits menjadi hadits dengan me-marfu’-kannya (menyambungkannya) sampai kepada Nabi saw. dan ia banyak meriwayatkan hadits-hadits masyhur. Karenanya hadits-haditsnya ditolak (tidak sah).[7]
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits tentang amal manusia diperlihatkan setiap hari Senin dan Kamis adalah hadits dha’if, baik dari jalur periwayatan Muslim dan lainnya. Terlebih dari jalurnya al Nasa’i, al Bazzar dan al Thabrani, karena hadits ini memiliki ‘illat (penyakit) dalam sanad-nya.
Wallahu a’lam bi al shawwab.
[1] Muslim, Shahih Muslim, Juz 4 hal. 1987.
[2] Lihat Syamsuddin Abi al Khair Muhammad ibn ‘Abdurrahman al Syakhawi, al Maqashid al Hasanah fi Bayani Katsirin min al Ahadits al Musytahirah ‘ala al Alsinah, (Beirut: Dar El Hijrah: 1986), no. 333, hal. 156.
[3] Muslim, Op. Cit., hal. 1988.
[4] Al Tirmizi, Sunan al Tirmizi, Juz 3, hal. 122.
[5] Muhammad Nashiruddin al Albani, Silsilah al Ahadits al Dha’ifah wa al Maudhu’ah wa Atsaruha al Sayyi’ fi al Ummah, Jilid 2, Riyadh: Maktabah al Ma’arif, hal. 404.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 404 – 405.
This entry was posted in Hadis and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment