REVIEW ATAS PENAFSIRAN ILMIAH TERHADAP AL-QUR’AN (Bag. 2)


C. AL-QUR’AN DAN SAINS

Dalam rangka pembuktian otentisitas Al-Qur’an, wahyu illahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapapun yang meragukannya untuk menyusun semisal Al-Qur’an (QS. 2:23 dan 10:38). Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat di dalam Al-Qur’an (Shihab, 1992 : 101), salah satu diantaranya adalah kandungannya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.

Corak tafsir ‘ilmi ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa dinasti Abbasiyah akibat penerjemahan buku-buku ilmiah Yunani. Diantara para sarjana yang mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali. Dia berkata dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, yang juga dikutip oleh mufassir ternama di Indonesia, Quraish Shihab, bahwa “segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah) maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim”.

Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Razi, misalnya, adalah satu contoh penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga pada masa permulaan sebagian ulama tidak menamakan kitabnya Sebagai kitab tafsir  karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas.

Kelanjutan dari penafsiran ilmiah  ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang berpendapat bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Tetapi kemudian, teori tersebut salah karena ternyata planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya berjumlah 10 planet, bahkan mungkin lebih, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit.

Selain Ar-Razi, tidak sedkit dari cendekiawan muslim yang juga melakukan penafsiran ilmiah, meski tidak diabadikan dalam buku secara khusus. Misalnya, Abdurrahman ibn Khaldun yang mengemukakan teori evolusi jauh sebelum Charles Darwin mempopulerkannya. Ibn Khaldun menulis di dalam kitab Al-‘Ibar fi Daiwani al-Mubtada’i wa al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal 1) sebagai berikut:

“Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadianya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tahap menilik dan berfikir” (Shihab, 1992:48).

Di sisi lain, terdapat cendekiawan muslim yang melakukan penelitian ilmiah berdasarkan topik-topik tertentu dan hasilnya ditulis dalam buku, meski karya mereka tidak dapat dikategorikan ke dalam kitab tafsir, seperti Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika, musik, geografi dan sejarah. Karya monumentalnya adalah Hisab al-Jabr wa al-Muqbala yang menjadi sumber inspirasi Leonardo Fibonacci dari Pisa dan Jacob dari Florence.

Al-Kindi, seorang filosof muslim terkemuka yang juga menguasai ilmu pengetahuan di bidang pengobatan, matematika, dan logika. Ia termasuk salah seorang editor sekaligus penerjemah karya-karya Yunani pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (Abbasiyah). Menurut catatan sejarah, Al-Kindi telah menyumbangkan 265 karya dalam bidang filsafat, astronomi, astrologi, musik, matematika, farmasi, politik, ekonomi, fisika, logika, dan lain sebagainya.

Al-Qanun fi Al-Thibb merupakan karya monumental di bidang kedokteran karangan Ibnu Sina. Buku yang ditulis dalam 5 jilid ini memuat 760 jenis obat-obatan, gejala-gejala penyakit dan metode penyembuhannya, dari mulai penyakit ringan sampai penyakit berat dan kronis, seperti penyakit jantung, liver dan lain sebagainya. Buku ini telah menjadi rujukan para ilmuwan modern. Dr. Osler menilai karya Ibnu Sina tersebut merupakan kitab suci ilmu kedokteran yang masa berlakunya sudah lebih dari tujuh abad sejak ia tulis pada abad ke-12.

Dalam bidang ilmu bumi, terdapat Al-Mas’udi yang menemukan kompas laut yang menjadi cikal bakal kompas modern. Ibnu Khaldun yang lebih di kenal sebagai bapak sosiolog yang karya-karyanya masih banyak diakses serta menjadi rujukan pada masa sekarang. Dan masih sangat banyak ilmuwan-ilmuwan yang karya-karyanya menjadi rujukan masyarakat modern yang merupakan hasil penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Kendati karya-karya tersebut tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kitab tafsir, tetapi itu semua merupakan hasil interprestasi secara langsung atau tidak langsung terhadap ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur’an.

Pada masa modern sekarang ini, muncul Harun Yahya yang telah menulis banyak buku tentang keajaiban-keajaiban alam semesta dan keterkaitanya dengan Al-Qur’an. Ahmad Baiquni yang konsisten dalam mengembangkan sains dan teknologi berbasis Al-Qur’an menyatakan di dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bahwa “Pengembangan sains itu justru diperintahkan oleh Allah swt. agar kita dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an lebih sempurna, sedangkan mengabaikan sains dan membiarkanya terlantar merupakan perbuatan dosa karena mengabaikan perintah dan petunjuk ilahi” (1996:7).

Al-Qur’an adalah firman Allah yang di dalamnya banyak sekali sisi keajaiban yang membuktikan otentisitasnya. Salah satunya adalah fakta dimana sejumlah kebenaran ilmiah yang hanya mampu diungkap dengan teknologi abad ke-20 ternyata telah disebutkan di dalam Al-Qur’an 1400 tahun lalu. Sebut saja misalnya teori Big Bang, yang menyatakan bahwa alam semesta ini selalu bergeser, berkembang dan bertambah besar setiap saat, sehingga berkesimpulan jika alam jagat raya terus berkembang, maka berarti ia berasal dari setitik materi yang kemudian meledak, hancur terpisah-pisah menjadi materi-materi yang demikian banyak sehingga saatnya nanti seluruh materi tersebut menyatu kembali menjadi volume yang sangat kecil hingga kemudian terulang ledakan tadi dan begitu seterusnya.

Teori dentuman besar (Big Bang) itu, jika diperiksa didalam Al-Qur’an terdapat di dalam ayat 30 surat Al-Anbiya:

“dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu dahulunya sesuatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduanya itu” (QS. 21:30).

Adapun teori dua lautan, yakni laut asin dan tawar yang keduanya terpisah bagai terhalang dinding yang tidak dapat ditembus. Muhammad Ibrahim al-Sumaih (guru besar fakultas sains Universitas Qatar) melalui penelitiannya, ditemukan adanya daerah antara Teluk Oman dan  Teluk Persia yang memisahkan kedua teluk itu. Daerah tersebut merupakan daya tarik stabil (gravitatial stability) yang menghalangi pembauran dan percampuran air. Daerah tersebut dinamai mixed water area, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah barzakh. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Furqan ayat 53 :

“dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit dan Dia jadikan antara keduanya dinding atau batas yang menghalangi”(QS. 25:53).

Teori pergerakan gunung, turunnya air hujan atau salju, fase-fase kelahiran manusia, dan lain sebagainya, semuanya telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Kendati demikian, Al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, ia merupakan firman-firman Allah yang dapat menjadi panduan manusia dalam setiap gerak-gerik kehidupanya.

D. REALITAS TAFSIR ‘ILMI MODERN

Disebabkan tafsir ‘ilmi termasuk tafsir maudhu’i, maka sudah menjadi  kewajaran jika sebagian ulama menyatakan bahwa tafsir ‘ilmi dan sejenisnya tidak dapat disebut tafsir Al-Qur’an, terlebih sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir maudhu’i. Karena pada umumnya, orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode tematis hanya ditulis dalam beberapa halaman saja dan masih jarang yang dibukukan. Kendati demikian, tafsir tematis kini menempati posisi teratas dibanding metode lainnya. Kelonggaran persyaratan mufassir menjadi salah satu penyebabnya, dimana seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an dengan metode maudhu’i tidak lagi harus seorang yang menguasai ilmu tata bahasa arab. Akibatnya, seorang ekonom, politisi, saintis dapat dengan bebas menafsirkan Al-Qur’an sesuai keahliannya itu.

Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa menerapkan metode maudhu’i memerlukan keahlian akademis (1998: xiv). Keahlian akademis tentunya meliputi penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir, ilmu-ilmu hadis, bahasa arab, dan ilmu-ilmu yang sesuai dengan pokok bahasan tafsir yang diambil. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menafsirkan  berbeda dengan berdakwah atau berceramah dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat kelayakan mufassir tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat (1992: 79).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak sembarang orang yang boleh menafsirkan Al-Qur’an. Ia harus seorang yang benar-benar mumpuni. Jika hal itu dilanggar, maka akan terjadi kesalahan penafsiran yang disebabkan: 1) subyektifitas mufassir;  2) kekeliruan penerapan metode atau kaidah; 3) kedangkalan ilmu-ilmu alat (bahasa arab); 4) kedangkalan pengetahuan tentang pokok bahasan; 5) tidak memperhatikan konteks ayat; dan  6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan. (Shihab, 1992: 79).

Disadari sepenuhnya, betapa berat syarat  seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an, terutama jika hendak menerapkan metode maudhu’i. Permasalahannya zaman sekarang ini adalah sulitnya menemukan orang yang benar-benar mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tidak ada seorang ulama yang juga menguasai ilmu kedokteran, biologi, fisika, geografi, dan lain sebagainya seperti halnya Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lainnya. Sekalipun ada, hanyalah segelintir orang dari sekian banyaknya penduduk di dunia ini.

Dikotomi ilmu pengetahuan dapat menjadi penyebab pertama persoalan di atas. Dewasa ini, banyak orang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan agama hanyalah untuk mencapai akhirat, sedangkan untuk kebahagiaan duniawi diperlukan ilmu pengetahuan umum. Menurut mereka, ilmu agama termasuk ilmu Al-Qur’an, hadis, fiqih, tauhid, akhlak, tasawuf. Dan yang dimaksud ilmu umum adalah ilmu alam, sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan seterusnya.

Al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa hukum mencari ilmu ushul, seperti tata cara wudhu, shalat dan puasa yang benar ialah fardhu ‘ain. Sedangkan mencari ilmu kauniyah, seperti ilmu kedokteran, ilmu hukum, militer, sosial, dan sebagainya mempunyai hukum fardhu kifayah, karena ilmu-ilmu itu diperlukan untuk keselamatan, keamanan, dan tegaknya masyarakat muslim. (Baiquni, 1996: 126-127). Pendapat Al-Ghazali tersebut, meskipun terkesan mendikotomikan ilmu, tetapi pada hakikatnya umat islam wajib mempelajari semua bidang ilmu pengetahuan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. di dalam hadisnya:

“mencari ilmu adalah wajib bagi tiap muslim dan muslimah”.  (HR. Ibn Abd Al-Barr), dan

“tuntutlah ilmu walau ke negeri cina sekalipun”. (HR. Ibn Uda).

Persoalan dikotomisasi ilmu terhadap metodologi tafsir ‘ilmi, sebenarnya dapat diselesaikan. Yakni dengan cara kerja sama para pakar ilmu pengetahuan untuk bersama-sama mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan begitu, diharapkan tidak lagi dijumpai kekeliruan dalam penafsiran dan tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an (hudan) dapat tersampaikan kepada stakeholders dengan baik.

Sayangnya, persoalan tidak selesai sampai disitu. Dikotomisasi ilmu memang dapat diatasi, tetapi mayoritas mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tafsir ‘ilmi lebih cenderung sekedar membuktikan bahwa Al-Qur’an memang benar. Ini terlihat ketika mufassir mengangkat suatu tema, misalnya tentang asal-usul manusia, maka ia terlebih dahulu menjelaskan teori-teori tentangnya, baik teori barat maupun teori muslim, kemudian pada akhirnya ia akan mengatakan bahwa teori itu semua telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat dan ayat sekian.

Budaya demikian tidak hanya menyerang para mufassir modern, tetap ia juga ditemukan pada sebagian besar cendekiawan muslim, dan para khatib atau penceramah. Setiap ada penemuan baru, mereka akan cepat berkata: Al-Qur’an sejak lama, sejak sekian abad lalu, telah menyatakan hal ini; Al-Qur’an sudah lama mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuan-penemuan ilmiahnya; dan seterusnya yang semua itu tiada lain adalah kompensasi—meminjam istilah Quraish Shihab—perasaan inferiority complex. Di lain pihak para penemu tadi, yang umumnya para ilmuwan barat/non muslim, hanya tersenyum mengejek melihat keadaan umat islam disertai kata-kata sinis: kalau memang demikian, mengapa kalian (umat muslim) tidak menyampaikan hal ini sebelum kami menghabiskan waktu, tenaga dan dana untuk penelitian?

Tidaklah dapat dipungkiri sebagai fakta sejarah, bahwa setelah mengalami zaman keemasan selama kurang lebih 500 tahun secara berturut-turut umat Islam mulai disisihkan di bidang ilmu pengetahuan kealaman atau kauniah oleh bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dan kini menempati posisi yang paling lemah. Sebagai akibatnya, umat Islam lemah dalam bidang sains dan teknologi, sebab sains dan teknologi modern bertumpu pada ilmu kauniah. Sementara orang berpendapat bahwa ilmu kauniah tidak diperlukan karena tidak dapat meningkatkan kesejahteraan umat/bangsa. Bagi mereka, lebih baik kita manfaatkan saja teknologi yang sudah ada tanpa kita harus bersusah payah mempelajari ilmu kauniah. (Baiquni, 1996: 149).

Inilah penyakit umat Islam saat ini yang tampaknya cukup sulit diobati. Mereka cenderung memilih menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Mereka sudah merasa cukup dengan ilmu ushul tanpa mau peduli terhadap ilmu kauniah. Akibatnya, mereka hanya bisa mengklaim teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa itu semua sebenarnya milik umat Islam dan sudah lebih dahulu dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Padahal, sebagaimana dijelaskan Ahmad Baiquni, apabila seorang muslim menjadi ilmuwan dari spesialisasi ilmu kauniah maka ia akan menjadi pengabdi Tuhan yang taat, dan apabila ia dari spesialisasi ilmu ushul maka akan terpupuk pula pengabdiannya kepada masyarakat dan pandangannya mempunyai cakrawala yang luas. (1996: 153). Alangkah indahnya jka keduanya bersatu sehingga bisa tercipta abdi-abdi Tuhan yang benar-benar taat karena pengetahuannya yang imbang serta dapat secara luas dan meyakinkan masyarakat akan kebesaran Tuhan sang pencipta.

E. KHATIMAH

Penafsiran ayat-ayat sains di dalam Al-Qur’an memang sangat diperlukan dan harus menjadi perhatian kaum muslimin, mengingat zaman yang terus berubah dan bertambah maju. Akan tetapi, sepantasnya para mufassir tetap memperhatikan kaidah-kaidah/metodologi penafsiran Al-Qur’an serta kedalaman/keluasan pembahasan materi. Tafsir ‘ilmi/sains bukanlah arena pengklaiman teori-teori atau temuan-temuan para saintis, tetapi seharusnya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an kemudian dilakukan penelitian ilmiah atau bila itu tidak memungkinkan maka ia dapat menafsirkan Al-Qur’an melalui cara-cara yang telah ditetapkan para ulama terdahulu, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an, melakukan seleksi, mencari hadis-hadis relevan diiringi pendapat-pendapat para ulama dan ilmuwan. Bukan justru sebaliknya, mengemukakan teori-teori dilanjutkan dengan klaim pada ayat maupun hadis.

Setiap muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Qur’an dengan akal pikirannya. Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam proses ta’amul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mempercayai (taklid buta) setiap hipotesis.

Wallahu a’lam bi al-shawwab.


REFERENSI:

  1. Al-Qur’an Al-Karim.
  2. Membumikan Al-Qur’an : M. Quraish Shihab.
  3. Wawasan Al-Qur’an : M. Quraish Shihab.
  4. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : Ahmad Baiquni.
  5. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu : Keith Ward.

Sebelumnya :

REVIEW ATAS PENAFSIRAN ILMIAH TERHADAP AL-QUR’AN (Bag. 1)

This entry was posted in makalah, Pemikiran, Tafsir and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to REVIEW ATAS PENAFSIRAN ILMIAH TERHADAP AL-QUR’AN (Bag. 2)

  1. osly rachman says:

    Tulisan yg sangat menarik dan menggugah hati. Beginilah seharusnya ayat2 Al Quran ditafsirkan dan disyi’arkan…. Al Quran sumber dasar pengmbangan iptek…. Terima kasih telah menambah wawasan kami…

Leave a comment